Memilih Istilah “Wanita” Atau “Perempuan”?

Anonim

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Unek-unek ini saya tahan sangat lama, bertahun-tahun. Terutama sejak nama sebuah kementerian di kabinet pemerintah berubah dari “Menteri Negara Peranan Wanita” atau “Menteri Negara Urusan Peranan Wanita”, diubah menjadi “Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan” pada tahun 2004, dengan menteri pertamanya Meutia Hatta Swasono (putri Proklamator Bung Hatta, sekaligus isteri Prof. Dr. Sri Edi Swasono). Kemudian berubah lagi menjadi “Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak” (Meneg PP & PA).
Sejak lama para aktivis gender dan feminis merasa terhina dengan sebutan “Wanita”. Bagi mereka istilah “Perempuan” lebih baik, lebih mulia, lebih manusia, dan tidak mengesankan praktik penindasan oleh kaum laki-laki. Mungkin untuk memperkuat hal itu, mereka pun melantunkan sebuah lirik lagu yang sayup-sayup terdengar, “Sejak dulu, wanita dijajah pria….”
Kemuliaan Wanita Tercermin dari Komitmen Moralnya.
Mengapa para aktivis gender, termasuk Meutia Hatta, begitu tidak suka dengan istilah Wanita? Mengapa mereka justru lebih suka dan mencintai istilah Perempuan?
Alasannya adalah: Kata wanita dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Jawa, yaitu WANITO. Sedangkan makna Wanito itu wani ditoto atau berani ditata. Mengesankan, wanita selalu diatur-atur, selalu dikendalikan, selalu diperintah oleh kaum laki-laki. Ya begitulah analoginya, yang kerap disampaikan oleh para aktivis gender dan feminis.
Terus terang, saya merasa gelisah dengan logika berpikir seperti itu. Bukan karena alasan mendukung penindasan, diskriminasi, atau penghinaan martabat wanita; karena bagaimanapun ibu saya, kakak-adik saya juga wanita, isteri dan anak-anak saya juga wanita; sehingga tidak mungkin kita ingin menindas wanita sebagai sesama hamba Allah. Penindasan seperti itu adalah peninggalan era jahiliyah masa lalu yang sudah diperbaiki oleh ajaran Islam.
Tapi realitas di zaman modern, penindasan wanita, pelecehan, eksploitasi, atau perbudakan, bukan tidak ada. Hanya berubah sebutan saja. Peradaban kapitalis Barat, secara penampilan seolah memberi memberi kebebasan wanita, padahal hakikatnya melenyapkan substansi dan esensi kemuliaan martabat wanita itu sendiri. Nia Dinata dan kawan-kawan pernah show of force dengan memakai hots pant, rok mini, dan lainnya memprotes pernyataan Gubernur DKI tentang rok mini. Ekspresi seperti itu dan semisalnya, seperti foto dan video pornografi yang melibatkan model utama kaum wanita, tari erotis, busana seksi, dll. semua itu menunjukkan kerelaan wanita-wanita masa kini menjadi obyek eksploitasi. Mereka rela dan bangga “diperbudak”. Lucunya, praktik “perbudakan” itu diberi judul “kebebasan wanita”. Aneh sekali, wanita zaman modern ini tidak mau diberi kehidupan nyaman, aman, terlindungi, terhormat, memiliki anak dan keluarga, yang sesuai fitrah mereka. Malah mereka sangat nafsu dan gembul melahap satu demi satu praktik eksplotasi. Sangat mengherankan sekali.
Dalam pandangan saya, pemilihan istilah Wanita, itu sudah benar dan sangat bermakna. Sedangkan pemilihan istilah Perempuan, justru ia menghinakan harkat martabat kaum wanita sendiri. Saya punya banyak alasan yang bisa disebutkan disini. Maka itu saya jarang memakai istilah Perempuan, demi memuliakan martabat kaum Wanita. Istilah Perempuan biasa kami pakai untuk menyebut anak-anak perempuan dan remaja (belum dewasa).
Berikut ini alasan-alasan yang bisa disampaikan…
[1]. Kata Wanita merupakan kata yang memiliki makna, sedangkan kata laki-laki atau pria, itu tidak jelas apa maknanya. Coba Anda pikirkan, apa arti kata laki-laki atau pria? Tidak ada kan. Kalau wanita ada, yaitu wanito wani ditoto atau berani ditata. Ini adalah satu kelebihan permulaan.
[2]. Dulunya, kata Perempuan itu dipakai untuk menyebut dua jenis kaum wanita. Pertama, dipakai untuk menyebut wanita yang masih berusia anak-anak atau remaja. Misalnya ada yang berkata, “Di kelas ada 10 anak perempuan.” Untuk orang dewasa, memakai kata wanita. Kedua, dipakai untuk menyebut “wanita nakal” alias pelacur. Dulu kita mendengar ada orang yang berkata, “Dia suka main perempuan.” Maksudnya, suka mencari kesenangan dengan wanita-wanita pelacur. Atau ada yang berkata, “Dasar perempuan murahan!” Atau ada yang berkata, “Tenang saja, disana banyak perempuan.” Atau perkataan lain, “Kemana-mana dia selalu membawa perempuan.” Kata-kata ini sebagian besar mencerminkan dunia hitam (dunia amoral).
[3]. Wanita-wanita yang terlibat dalam prostitusi dulu dikenal dengan nama WTS (Wanita Tuna Susila; maksudnya, wanita yang tidak memiliki standar moralitas). Lihatlah, meskipun posisi mereka sebagai pelayan prostitusi, tetapi istilahnya masih sopan. Bandingkan dengan istilah PEREK (Perempuan Eksperimen) yang juga dipakai di masa lalu. Istilah WTS lebih sopan ketimbang PEREK. Sedangkan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah istilah menyesatkan, sebab ia menyamakan dunia prostitusi seperti dunia profesional yang halal.(Rapi Amiko Martunus) Dunia pelacuran yang haram di-halalisasi dengan istilah PSK. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
[4].  Dari asal-usul kata, Perempuan berasal dari kata “Empu”. Empu maksudnya milik. Misalnya ada kalimat, “Siapa empunya buku ini?” Maksudnya, siapa pemilik buku ini? Atau ada kalimat, “Tanyakan pada empunya pekerjaan itu!” Maksudnya, tanyakan kepada pemilik pekerjaan itu. Atau misal ada kalimat, “Barang ini sudah rusak sejak didatangkan dari si empunya.” Namun ketika kata “empu” disambung dengan imbuhan “per-an” menjadi “per-empu-an”, ia bisa memiliki makna negatif. Perempuan disini bermakna “permilikan”.  Kata yang semodel itu misalnya pertigaan, pertapaan, perternakan, perjudian, pertarungan, percobaan, perzinahan, perselisihan, pertukangan, dll. Jadi kata Perempuan bermakna “Permilikan”, atau tentang suatu kepemilikan, atau sesuatu yang dimiliki.
Misalnya ada aktivis gender yang berkata, “Di balik kata Perempuan ada makna yang mulia yaitu memiliki sesuatu.” Pertanyaannya, memiliki apa? Memiliki sesuatu itu luas sifatnya; bisa apa saja, baik atau buruk. Pengertian “memiliki sesuatu” tidak jelas apa yang dimiliki. Kalau dikaitkan dengan penggunaan kata Perempuan di masa lalu, pada komunitas anak-anak perempuan dan wanita-wanita nakal, maka kata Perempuan itu lebih tepat bermakna “sesuatu yang dimiliki“. Anak-anak perempuan dimiliki oleh orangtua dan keluarganya, sedangkan perempuan nakal dimiliki oleh laki-laki hidung belang.
Kata Perempuan justru bisa bermakna kaum wanita sebagai “obyek kepemilikan” orang lain (kaum laki-laki). Mereka seperti benda, barang, atau properti. Ini adalah pemaknaan yang sangat tidak bermartabat bagi kaum wanita. Dan sangat mudah dipahami kalau dulu, orang-orang menggunakan kata Perempuan untuk menyebut wanita nakal. Karena sudah menjadi kebiasaan laki-laki amoral (di Timur maupun Barat), mereka biasa memiliki Perempuan untuk dieksploitasi dengan syahwat gelapnya.
[5]. Para aktivis gender marah dengan istilah Wanita. Kata itu menurut mereka bermakna penindasan. Mereka menuduh, kata Wanita itu dipaksakan kaum laki-laki di masa lalu untuk menindas kaum wanita. Nah, masalahnya siapa yang tahu bahwa istilah Wanita (atau Wanito) itu dimunculkan oleh kaum laki-laki? Siapa yang bisa memastikan hal itu? Bisa saja kan, istilah itu dimunculkan oleh kaum Wanita sendiri, untuk memberikan makna luhur dalam predikat mereka sebagai wanita? Selagi para aktivis itu tidak bisa membuktikan siapa yang paling pertama meng-introdusir istilah Wanita, mereka tidak boleh menyalahkan kaum laki-laki.
[6]. Andaikan pengertian Wanita kita pastikan sebagai Wanito atau wani ditoto (berani ditata); apakah kata-kata seperti itu buruk? Ditoto itu artinya: ditata, diatur, dimanajemen, diurus baik-baik. Semuanya memiliki konotasi positif. Di balik istilah Wanita terdapat makna-makna luhur, yaitu: Taat aturan, patuh pada hukum, komitmen dengan prosedur, tidak koruptif, tidak menyeleweng. Makna-maknanya sangat baik. Mengapa lalu malah diganti Perempuan yang bisa bermakna “sesuatu yang dimiliki”? Aneh banget. Hal ini seperti perkataan Nabi Musa ‘Alaihissalam kepada Bani Israil: “Atastabdiluna alladzi huwa adna billadzi huwa khair” (apakah kalian meminta ganti yang buruk untuk menggantikan yang baik?). [Al Baqarah: 61].
[7]. Kata Wanita memiliki makna berani ditata, berani diatur, taat hukum, taat aturan main, taat regulasi, tidak korupsi, tidak manipulasi, tidak menyalah-gunakan prosedur. Ini adalah suatu makna yang luhur. Justru kaum laki-laki atau pria, tidak jelas apa pengertian dari kata itu. Di balik kata Wanita tercermin suatu komitmen untuk patuh kepada aturan, baik aturan negara, aturan organisasi, aturan perusahaan, aturan rumah-tangga, maupun tentunya aturan Tuhan (Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Masya Allah, ini adalah suatu performa moral yang tinggi.(Rapi Amiko Martunus)
[8]. Mungkin sebagian aktivis gender dan feminis akan melontarkan sanggahan. Bisa jadi mereka akan berkata, “Tetapi pengertian Wanita (Wanito) atau berani ditata itu maksudnya tidak begitu. Maksudnya, lewat istilah itu kaum laki-laki ingin menindas, menjajah, membelenggu kebebasan, dan mengendalikan kaum wanita seenaknya sendiri. Begitu maksudnya.”
Kita jawab pemikiran ini. Pertama, logika berpikir seperti itu tidak punya landasan apapun, selain prasangka buruk, kecurigaan, dan provokasi permusuhan antar gender. Ia hanyalah prasangka buruk, tanpa landasan. Prasangka buruk tidak boleh dibawa ke ranah peradaban manusiawi, sebab ia berada di area lain. Kedua, kata ditata, diatur, diurus, sama sekali tidak memiliki makna ditindas, dieksploitasi, dijajah, dibelenggu; keduanya sangat berbeda. Penataan, pengaturan, regulasi, memiliki makna positif untuk mengurus segala sesuatu sebaik-baiknya; tiap elemen diletakkan secara fit dan proper. Ketiga, andaikan kaum wanita mesti ditata, apakah hanya mereka yang harus taat aturan, hukum, atau prosedur? Kaum laki-laki pun tidak bisa lepas dari aturan hukum.
Jadi, upaya memberi makna pada kata Wanita dengan: penindasan, pelecehan, penjajahan, eksploitasi, dll. oleh kaum laki-laki; semua ini hanyalah prasangka buruk, stigma, dan penyesatan. Tidak ada suatu pijakan yang bisa dijadikan pegangan. Justru tuntutan kebebasan mutlak seperti yang selalu diminta oleh para aktivis gender itu, ia kerap kali akan berakhir dengan ekploitasi terhadap kehidupan kaum wanita itu sendiri.
[9]. Perkara terburuk dibalik sosialisasi istilah Perempuan secara massif dan sistematik, untuk menggantikan istilah Wanita; ia akan menjadikan kaum Wanita sebagai obyek eksploitasi, sebagai properti yang dimiliki, sebagai suplier kebutuhan industri, sebagai “barang dagangan”, dan sebagainya. Mengapa demikian? Karena istilah Perempuan itu sendiri tidak memiliki konotasi yang positif seperti istilah Wanita. Ia malah bisa bermakna sebagai “properti yang dimiliki”. Ada kesan, dengan melegalkan istilah Perempuan sebagai istilah umum, hal itu seperti membuka pintu-pintu LIBERALISASI kultur kaum wanita seluas-luasnya. Kalau masih dipakai istilah wanita, maka kemana-mana istilah itu mengandung makna moral luhur. Sangat berbeda dengan istilah Perempuan.
[10]. Terakhir, dalam bahasa Inggris, istilah Wanita identik dengan Women; sedangkan istilah Perempuan identik dengan Girl. Baik Women atau Girl menunjuk ke gender Wanita, tetapi rasa bahasanya berbeda. Istilah Women lebih dewasa dan sopan.
Demikian sebuah kajian kritis yang sekian lama membebani pikiran, jika belum disampaikan. Singkat kata, penggunaan nama “Menteri Negara Peranan Wanita” itu lebih baik daripada memakai nama “Menteri Wanita Pemberdayaan Perempuan”. Mengadopsi istilah Perempuan dalam ruang-ruang publik, formal, dan birokrasi; menunjukkan tingkat kemerosotan moral bangsa yang serius. Saat kaum wanita oleh para pendahulu diberikan predikat sebagai kaum bermoral, justru di masa kini ia diberi label berbeda yang mengesankan dirinya sebagai “obyek eksploitasi”. Sangat menyedihkan!
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amin Allahumma amin.
AM. Waskito.

Posting Komentar

Mohon Tulis Komentar nya untuk perbaikan ke depan nya :) serta gunakan lah kata y positif dan membangun dan hindarilah penggunaan kata yang sara dan tidak relevan