Disarikan dari Buku “Catatan Masa Lalu Banten”, Drs Halwani Michrob, MSc, Drs A. Mudjahid Chudori, Penerbit Saudara, Serang 1993
130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang.
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan Sumatera
165
 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius 
Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina 
dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera, 
Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke 
Daratan Cina.
Abad 5 M 
Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi 
ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang.
Prasasti
 berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang
 berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan 
Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada 
saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
Abad
 XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran 
didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi 
seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad
 XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun 
(Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat 
pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan 
pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai 
jalur darat.
1513 M Tome 
Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan 
pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan 
perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan 
pengekspor beras, bahan makanan dan lada.
Pada
 masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah 
Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21
 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan 
disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk 
kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk 
menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis 
memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan
 peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama yang 
beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi, 
Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya
 ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan
 ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin 
pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian 
barat pulau Jawa.
1521 M 
Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur, 
timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu 
selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah 
pantai.
Untuk 
mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu 
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan :
• Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
•
 Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di 
Malaka, agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, 
dengan mengutus putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa 
ke Malaka.
1522 M 21 
Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani 
perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri 
Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
• Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
• Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
• Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
• Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Portugis.
1525
 M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran
 Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di 
bawah pimpinan Hassanudin dapat menguasai Banten.
Untuk
 menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat 
menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526
 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke 
dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan. 
Berdasarkan beberapa data, pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal
 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527
 M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap 
telah meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, 
Demak, Banten, dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda 
Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk 
menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa 
diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan.
Armada
 Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian tahun 
1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai 
pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan 
perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan
 hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda 
Kelapa.
Setelah Jayakarta 
berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah 
bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin 
bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan 
kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani 
keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar 
dengan pesat dan keamanan negara terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat 
memerintah atas nama Sultan Demak.
1552
 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status 
Banten ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk
 sebagai raja pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah 
(menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon, 
mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja Cirebon, 
Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk 
menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus 
Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Pada
 masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat 
pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak
 di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama 
Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati
 sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota
 Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan 
bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan 
meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan 
ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana
 raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan
 datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai 
tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun 
dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan
 Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih
 menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping 
memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, 
Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan 
utama dan penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan 
kerajaan kerajaan di Nusantara.
Cara
 jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah 
mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan 
adalah Real Banten dan cash cina (caxa).
Terjadinya
 krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M, 
mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak 
dan menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah 
Kesultanan Banten telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, 
Inderapura, sampai Solebar.
Sultan
 Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung. 
Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking.
 Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten 
ke 2.
1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada
 masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik 
beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan 
pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten 
merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia yang 
nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara.
Dengan
 majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan
 menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan 
penduduk pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan 
penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah 
penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar 
tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim dari
 kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu, Pecinan 
yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat 
Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini 
selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk 
kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan 
kota.
Selain penataan 
pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok keliling kota 
dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat dengan 
lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit 
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan 
bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal 
Mongolia.
Untuk kepentingan
 irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan
 kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang 
dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan 
khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar 
danau. Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah diendapkan di 
Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih dialirkan
 ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan
 ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi 
keluarga keraton.
Sultan 
Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede 
dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran 
Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, 
diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia
 9 tahun.
1579 M Pasukan 
Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, 
ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan 
Pajajaran.
Raja terakhir 
yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya 
Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari, 
karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung 
Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan 
Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
Setelah
 berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran diislamkan dan
 dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin 
stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan
 Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan 
kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang 
mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui 
bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa 
orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar 
kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten
 melalui banyak sungai.
Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana
 Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan 
penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan 
membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib 
dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa 
kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan 
keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan 
disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan
 Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke 
Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan 
dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak 
ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan
 Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid 
Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda 
ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu 
Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan
 Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda 
pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang 
lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya.
Masa
 awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa 
pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam 
keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta 
keinginan untuk merebut tahta kerajaan.
Pada
 saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian 
dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri 
yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai
 Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak 
menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan 
keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri 
semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk
 mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan 
pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak
 dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya
 perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di 
tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan 
oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas 
usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara 
semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala 
sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten 
menjadi aman kembali.
Pangeran
 Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan
 Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama 
yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan 
menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan 
sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, 
Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam 
amupun luar negeri.
Mangkubumi
 dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak 
manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
• Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
• Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak
•
 Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal 
ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena
 perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan 
pemerintahan dan dalam negeri Banten.
Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN SEJARAH: sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis, penerbit LP3ES.
Melihat
 namanya ia rupanya seorang bangsawan, tetapi biarlah kebangsawanan ini 
sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang penting ialah Jonkheer Jan de 
Rovere van Breugel adalah seorang pejabat VOC di Banten. Pada tahun 
1788, ia terpaksa meninggalkan jabatannya pada maskapai dagang Belanda 
yang semakin lama semakin berfungsi sebagai sebuah “negara” itu. 
Peristiwa ini pun tak pula penting. Pulang kampung dan meletakkan 
jabatan bukanlah pula hal yang harus dibesar-besarkan. Akan tetapi, yang
 menarik ialah ternyata setahun sebelum ia “pulang negeri”, raden mas 
Belanda ini sempat menyelesaikan dua memorandum panjang, yang 
masing-masing berjudul Berschijving van Banten en de Lampong (Uraian 
tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen van den staat van Bantam 
(Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun 1857 – hampir enam
 dasawarsa kemudian – ringkasan dari kedua memorandum panjang ini 
diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde 
(biasa dipendekkan dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang
 sampai sekarang masih terbit bahkan telah semakin bersifat 
internasional.
Pada 
pengantar dari memorandum yang telah diperpendek itu, redaksi majalah 
mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap dari sang bangsawan lokal ini
 akan diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap- sebuah organisasi 
keilmuan yang tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia Belanda ini.
 Akan tetapi, rencana penerbitan ini dibatalkan karena Gubernur Jenderal
 Alting menasehati sang pengarang agar mau mengurungkan niatnya. Soalnya
 kedua naskah memorandum itu-entah sengaja, entah tidak, tetapi lebih 
mungkin karena keasyikan berkisah saja-ternyata banyak juga membicarakan
 hal-hal yang mestinya tidak boleh diketahui umum. Jadi rahasia dari 
masa-masa akhir hidup VOC termuat juga dalam naskah ini. Coba saja pikir
 pejabat yang bergelar Jonkheer ini antara lain mengusulkan agar VOC 
menurunkan tingkat administratif Banten hingga dengan begini jumlah 
tentara yang diperlukan cukup 185 orang saja, tidak lagi 372 orang. 
Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi – dan ini rupanya 
penting juga – “kemiskinan sang raja telah meniadakan kemungkinannya 
untuk melakukan apapun”. Maka dengan pengurangan biaya ini kerugian 
finansial VOC bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga diketahui bahwa 
salah satu sebab utama VOC dilebur dan daerah-daerah di Kepulauan 
Indonesia yang telah berada di bawah dominasi VOC dijadikan sebagai 
bagian dari sebuah negara kolonial yang disebut Hindia Belanda ialah 
karena VOC telah mengalami kebangkrutan?
Tentu
 sekarang kita bisa berkata bahwa kalau dihitung-hitung umur VOC lebih 
panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat hidup sampai dua abad kurang
 dua tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia Belanda hanya 142 tahun 
saja. Kalaupun ingin berpikir secara legalistik yang kaku paling-paling 
hanya bisa ditambah empat tahun tambah beberapa bulan – sejak 
menyerahnya Jepang hingga “penyerahan kedaulatan”. Akan tetapi, yang 
akan mau mengakui cara berpikir legalistik konyol ini, siapa lagi selain
 kaum konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat awam 
masih menyebut pemerintah kolonial Belanda “kompeni”, meskipun Hindia 
Belanda telah berkuasa.
Namun 
demikian, sudahlah, yang jelas kedua naskah memorandum yang telah 
diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah Hindia Belanda telah asyik
 dengan politik “tanam paksa” atau cultuurstelsel di Pulau Jawa. Politik
 ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan 
menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta 
merta mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini 
keadaannya nilai aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena 
itulah barangkali ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian.
Apalagi
 pada waktu diterbitkan, Banten telah pula sepenuhnya berada di bawah 
kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan dijalankan berdasarkan 
memorandum itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah ketika Ann Kumar, 
sejarawan Australia yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan Jawa dan 
Belanda (Java and Modern Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan 
tulisan dari van Breugel ini sebagai bahan kajiannya. Ia pun “berbaik 
hati” juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar naskah sang Jonkheer, tetapi 
kali ini dalam bahasa Inggris.
Dengan
 membaca “ikhtisar dari ikhtisar” ini kita mengetahui juga dasar 
keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua memorandumnya dan bisa 
pula memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan ikhtisarnya 
sekian puluh tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang berharap
 agar memorandumnya ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial 
yang dijalankan. Akan tetapi, sayang juga ketika akhirnya diterbitkan 
tulisannya hanya bermanfaat sebagai salah satu sumber sejarah saja. 
Soalnya
 ia sebenarnya melihat masa depan yang cerah juga bagi Banten, jika saja
 usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, tetapi sudahlah, 
yang jelas tulisan Jonkheer de Rovere van Breugel boleh dikatakan 
bercorak ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara tentang wilayah dan 
kota, pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat, hasil bumi dan 
perdagangan serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat menaruh 
perhatian pada sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi 
ternyata hampir tidak ada aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik 
yang tidak dibicarakannya. Dalam tulisannya tampak pula bahwa ia adalah 
seorang pengamat situasi sosial yang cukup jeli juga. 
la
 mungkin tak bisa menerangkan mengapa “itu harus begitu” dan “mengapa 
ini harus begini”, sebagaimana yang mungkin bisa dilakukan oleh ahli 
anthropologi modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang apa saja 
yang kebetulan dilihat dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van Breugel
 membayangkan juga suatu saat Banten akan bisa bangkit lagi jika saja 
VOC menjalankan kebijakan yang baik. Hanya saja, tentu bisa juga 
dimaklumi kalau dalam melihat dan mengamati masyarakat Banten ia tak 
bisa melepaskan landasan penilaian yang bercorak Belanda.
Maka,
 janganlah kaget kalau ia mengatakan bahwa menurut pengamatannya 
laki-laki Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka membiarkan saja para 
isteri mereka bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih sibuk 
minum-minum – tentu saja bukan air – makan-makan sirih dan 
menunggang-nunggang kuda. Bahkan, kalau saja pengamatannya tidak terlalu
 bias, laki-laki Banten itu, katanya lagi, membiarkan saja perdagangan 
dikuasai para pendatang yang disebut “Orang dagang” . Anak-anak umur 
delapan atau sepuluh telah dipertunangkan, meskipun mereka masih tinggal
 di rumah orang tua. Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi 
akibatnya orangtua anak perempuan akan kehilangan pembayaran yang telah 
mereka lakukan. 
Pesta
 perkawinan diadakan di rumah penganten perempuan, sedangkan tamu-tamu 
datang dengan membawa hadiah, biasanya buah-buahan. Sang pejabat yang 
bangsawan ini rupanya pernah juga beberapa kali menghadiri upacara 
pernikahan orang Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak panjang lebar
 tentang situasi dari upacara perkawinan itu, Tentang agama, ia 
mengatakan bahwa orang Banten itu beragama Islam tetapi orang Lampung 
menganut kepercayaan yang merupakan percampuran “ajaran Muhammad” dengan
 sistem kepercayaan yang masih kafir, dan digabung lagi “dengan takhyul 
yang paling bodoh”. 
Orang
 Banten mempunyai hukum juga, tetapi, kata van Breugel, pada umumnya 
mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja — darah dibayar dengan 
darah, pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan yang 
kadang-kadang bisa sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau 
saja interpretasi sosial boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka 
bisalah dikatakan bahwa masyarakat Banten, yang disaksikan van Breugel, 
sedang berada dalam situasi kemelut yang parah juga.
Bagian 
yang terpenting dari memorandum ini ialah uraian tentang komoditi 
perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi, ndigo, gula, pinang, 
kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la menguraikan satu 
persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat tumbuh dan 
cara pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga 
bercerita tentang perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan 
berkisah pula tentang betapa maraknya penyelundupan barang haram ini. 
Cerita yang mengasyikkan juga ialah tentang bajak laut. Orang Mandar, 
katanya, adalah yang paling aktif dalam penyelundupan, artinya mereka 
sering berhasil mengelakkan monopoli VOC. Tentang usaha pemberantasan 
perompakan ia mengusulkan agar kekuatan armada Banten diperkuat, 
umpamanya dengan memberi bantuan mesiu.
Akan
 tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota Banten? Kalau tentang desa ia 
mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak beraturan, sedangkan 
tentang ibu kota, ia melukiskan tentang dinding-dinding yang dulu pernah
 mengitari ibu kota sekarang telah hancur lebur berantakan. Perbentengan
 telah hancur dan di atas runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan karena
 jumlahnya cukup banyak inilah Banten, katanya, “masih bisa disebut 
kota”. Rumah-rumah umumnya terbuat dari bambu, hanya sebagian kecil saja
 memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat negara, seperti menteri 
dan “pendeta” (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan beberapa orang 
lain mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung yang 
dipenuhi oleh rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng 
berbentuk setengah bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk 
pertahanan istana yang dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa. 
Di sekeliling benteng itu ada perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten, 
yaitu Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah pasar baru. Akan tetapi, semua
 pasar itu mengalami kemunduran , tidak lagi seperti dulu ketika Banten 
masih megah.
Raja yang 
memerintah pada waktu itu ialah Sultan Abul Nazar Muhammad, yang menurut
 van Breugel, sangat dipengaruhi oleh “paus-paus orang asing” (maksudnya
 tentu saja ulama-ulama dari negeri lain). Mereka semakin berpengaruh 
saja di kalangan masyarakat Banten, bukan saja di kalangan kraton. 
Ketika menyebut “paus” ini van Breugel sama saja dengan para penulis 
Belanda lain. Kata “paus” adalah sebutan ejekan bagi ulama. (Belanda 
abad ke-18 sangat anti-Katholik rupanya). Van Breugel jengkel juga 
karena ia melihat sang Sultan tidak menaruh hormat lagi pada VOC. 
Bukan
 itu saja, menurut pengamatannya, Sultan asyik dengan segala macam 
kemewahan, padahal kesultanan telah jatuh miskin. Akibatnya, tentu bisa 
diduga, Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya Sultan ini 
seorang yang baik hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat 
yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan, 
yang malah sibuk menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang 
Eropa. 
Pada
 umumnya para bangsawan ini sudah cukup puas dengan tempat tinggal yang 
menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita 
cantik. Pengawas gudang lada sang raja ialah seorang yang bernama Kiai 
Aria Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah 
disunat (maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan sebagai 
kepala gudang ini dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman 
raja, Pangeran Raja Kusuma, kata van Breugel, adalah seorang yang alim, 
tetapi ia tampaknya agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya 
menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya
 yang hari demi hari dilanda kemerosotan.
Ketika
 Van Breugel menulis tentang Pangeran Raja Kusuma ini ia mungkin merasa 
simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa artinya hidup ketika kejayaan 
lama hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan sang pangeran tua ini 
tentang kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang Pangeran yang 
hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung masa 
ketika Banten adalah kerajaan yang makmur dan disegani dan merupakan 
salah satu kerajaan yang terkuat di Kepulauan Nusantara ini, tetapi 
pengetahuan akan masa gemilang yang telah hilang itu tak begitu saja 
terpupus dalam ingatan kolektif Banten. Bahkan asal usul berdirinya 
kerajaan pun masih segar dalam ingatan kolektif anak negeri.
Bilamana
 situasi kesekarangan telah dirasakan semakin mencekam bagaimanakah 
ingatan akan masa lalu yang telah lewat itu akan hilang begitu saja? 
Bukankah nostalgia kultural itu sesungguhnya tidak lain daripada 
perlawanan terhadap tirani sang waktu? Dengan bernostagia, perjalanan 
waktu dijadikan tak berfungsi dalam kesadaran. Ketika perasaan kerinduan
 ini telah semakin mencekam, karena situasi kesekarangan telah 
sedemikian menista harga diri, maka masa lalu tiba-tiba bisa saja 
berubah menjadi “masa depan” yang harus dirangkul dengan segera. 
Janganlah
 pula heran bilamana kepedihan masa kini telah semakin keras dirasakan, 
maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan sebagai “masa depan” itu 
semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah begini, maka 
“terjadilah apa yang harus terjadi”. Kita pun berhadapan dengan salah 
satu irama yang hampir menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan 
kerajaan telah terlepas dari tangan.
Asal-usul
 Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak
 bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah kekuasaan lokal, tetapi 
muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari luar. Dalam usaha 
untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan Gunung Jati, 
ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga, mendirikan 
Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan 
Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. 
Ketika kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung 
Barat Pulau Jawa (1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran
 Adipati Hasanuddin pun menjadi Sultan Hasanuddin. 
Ternyata
 ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat tepat. Awal abad ke-16 
adalah masa yang kritis bagi perairan Asia Tenggara. Pada tahun 1511, 
Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang ingin melumpuhkan Mekah 
dan Constatinopel – dua pusat kekuasaan dan agama Islam, berhasil 
menaklukkan Malaka. la memperhitungkan bahwa dengan jatuhnya Malaka, 
maka berarti leher dari kedua pusat Islam itu telah bisa dicekik 
Portugis. Malaka adalah salah satu pusat perdagangan yang besar dunia 
pada abad ke-15, tetapi panglima Portugis, yang didorong oleh keuntungan
 dagang dan kekuasaan agama ini, sama sekali tidak menduga bahwa 
kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi sasaran 
penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia, tetapi juga 
menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat perdagangan Islam. 
Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan Johor, 
penerus dinasti Malaka, serta 
Aceh-Darussalam,
 sibuk berkali-kali menyerang Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota 
dagang baru pun bermunculan pula. Pada waktunya sebagian dari 
kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam yang 
baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah 
Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan 
tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar. Sementara itu di 
pedalaman Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai pemegang hegemoni di 
“negara-negara kota” di pantai Utara. Sejak akhir abad ke-16 dan akhir 
abad ke-17 boleh dikatakan sebagai the age of Islamic hegemony dalam 
sejarah Asia Tenggara. 
Karena
 itulah Schrieke, seorang ahli filologi Islam, sosiologi dan sejarah 
Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja pada kantor Penasehat 
Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam di Kepulauan
 Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya sebagai 
“race with Christianity” (perlombaan dengan Kristen). Soalnya ialah 
setelah Vasco da Gama mendarat di Calicut, India (1498), apalagi setelah
 Portugis berhasil menaklukkan Malaka maka “jalan ke Timur” untuk 
mencari rempah-rempah dan menyebarkan agama, telah terbuka pula bagi 
para pelaut, pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa. Perairan 
Nusantara pun menjadi ranah persaingan dari segala bangsa, baik yang 
datang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, kemudian datang Belanda, 
Inggris, bahkan juga Denmark, apalagi Asia, yang memang telah 
berdatangan sejak awal abad Masehi.
Tradisi
 sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia
 ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke Palembang, 
tetapi dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang (atau 
historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya bisa 
dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten. Dan 
sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar di 
Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang 
menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor barang 
impor- hanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran kebesaran 
enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada perkiraan jumlah 
penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing. 
Tentang
 Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun 
1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah
 perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari 
100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan 
lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk 
800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah 
turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak 
akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa 
Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya 
perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa 
jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad 
ke-16 – abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang 
drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun 
1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu 
sejarah Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya
 menjadi residentie Banten.
Salah
 satu laporan yang menarik dibuat oleh orang Belanda, Lodewijk, yang 
datang ke Banten pada tahun 1596 bersama komandannya, Cornelis de 
Houtman. Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat internasional 
entrepot Banten. Antara lain ia bercerita tentang “pembagian kerja” dari
 anggota komunitas asing yang berada di Banten. Orang Persia, menurut 
laporannya, berdagang permata dan obat-obatan. Orang Arab dan Pegu 
melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa barang dari satu tempat ke
 tempat lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang perantara.Lodewijk
 tentu saja tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu, tetapi 
peranan Arab sebagai pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah
 dimulai sejak abad ke-11 ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang
 asing. Ini pulalah salah satu sebab dari awal terjadinya Islamisasi di 
kawasan ini. Kalau cerita Lodewijk diteruskan, maka ia pun mengatakan 
bahwa orang Keling lebih suka mengadakan investasi dengan bunga. Atau 
kalau dengan istilah yang biasa dipakai sebagai cheti, yang dengan kata 
lain, tentu bisa disebut rentenir. 
Ternyata
 orang Melayu, menurut Lodewijk, mempunyai hobby yang sama pula. jika 
laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun bisa juga mengatakan bahwa 
ajaran Islam tentang riba tidak masuk perhitungan para pedagang Melayu 
itu. Jadi, sama saja dengan “konglomerat Melayu” sekuler zaman sekarang —
 pokoknya keuntungan masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada umumnya 
adalah pelaut dan, tentu bisa diduga, miskin-miskin. Lodewijk juga 
bercerita tentang pedagang besar yang bernama Cheti Maluku yang 
berhubungan dagang dengan orang Belanda dan Inggris; tentang Kojah 
Rayoan, seorang pedagang Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota 
pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga orang asing. la orang dari Keling.
 Ketika ia sampai di Banten, kata Lodewijk, “ia tak punya apa-apa, maka 
ia pun menjalankan semua kerja yang hina untuk menghidupi dirinya.” 
Dengan kata lain, Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah “a 
land of opportunities”– negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk akal
 juga kalau Cornellis de Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat
 di Banten dan kemudian menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya.
Tak
 lama kemudian Inggris, yang praktis merupakan pengimport tunggal 
tekstil dari anak benua India, juga menjadikan Banten sebagai pusat 
aktivitasnya di Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah biasa saja – 
orang berdagang tentu mencari pusat kegiatannya – tetapi sialnya dalam 
sejarah Indonesia yang diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang
 merdeka, tahun kedatangan Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan 
sebagai masa awal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Maka, kita pun 
ikut larut dalam pandangan sejarah yang bodoh dan sesat ini dengan 
mengatakan bahwa “Indonesia 350 tahun berada di bawah kolonialisme 
Belanda.”
amun, 
biarlah hal ini tak dilanjutkan, maklum para pejabat itu tidak bisa 
membedakan mana yang mitos dan mana yang sejarah. Maka, kalau cerita 
dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali juga orang membandingkan
 Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan itu ialah 
kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan. Aceh 
mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad 
ke-17 (Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, jangan-jangan 
sultanah yang berada di belakang tirai ketika menerima perutusan 
Inggris, seorang laki-laki yang menyamar. la adalah sultanah yang 
terakhir).
Hanya
 saja dalam perbandingan ini sering terlupakan bahwa tumbuhnya Banten 
sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi ketika Sultan Abdul Kadir 
(1596-1618) masih harus berada di bawah pewalian, karena belum dewasa. 
Selama lima tahun yang kritis (1600-1605) yang tampil sebagai tokoh 
utama ialah Nyai Gede Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott) 
menyatakan kekagumannya ketika ia berkata bahwa “perempuan tua ini 
menguasai para wali dan lain-lain,.. walaupun ia bukan berdarah kraton, 
tetapi karena kearifannya sangat dihargai oleh semua (yang berkuasa) ia 
memerintah seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri ini.” Maka 
begitulah kalau aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas, 
pemerintahan bisa dijalankan berdasarkan kearifan yang paling unggul.
Kalau
 De Breugel, yang menulis memorandum pada tahun 1787, sempat mengatakan 
bahwa orang Banten meskipun punya hukum tetapi lebih suka memakai hukum 
alam, tidak demikian halnya pada abad ke-17. Seorang pendeta dari 
Missions Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan bahwa Banten, 
“mempunyai dua hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar, yang tahu 
semua masalah perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria 
(Shari’ah), yang mempunyai jurisdiksi pada semua masalah perdata dan 
pidana, yang menghukum dengan berat kejahatan pencurian dan perzinaan.”
De
 Breugel menggambarkan suasana kemunduran dan kemelut. Ketika itu kraton
 Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau berada di bawah 
suzereniteit maskapai – yang-bermain sebagai-negara ini dan harus pula 
membayar utang kepada VOC, karma telah membantunya menghadapi 
pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750-52). Nada dari uraiannya 
hampir sama dengan gambaran para pelapor lain tentang kerajaan-kerajaan 
Nusantara yang sedang mengalami kemunduran.
Bedanya
 hanyalah pada detail-detail sejarah – nama tempat, nama orang dan 
bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang telah mengalami krisis 
di abad ke-18 – umumnya berada di pulau Jawa – tetapi ada pula yang bare
 mengalaminya pada abad ke-19 – umumnya di kerajaan-kerajaan di daerah 
lain (kecuali Maluku). Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin Abdul 
Kadir Munsyi, yang dikirim Inggris, yang telah mendirikan dan menguasai 
Singapura, untuk meninjau kerajaan-kerajaan di pantai Timur Tanah 
Semenanjung, memperlihatkan suasana yang lama, meskipun yang dikisahkan 
berbeda-beda. Suasana kemelut menjelang kejatuhan selalu membayangkan 
otoritas kekuasaan yang lemah, masyarakat yang tak peduli, hukum yang 
kehilangan peran, ekonomi yang kehilangan gairah, serta keamanan yang 
tak terjamin.
Sedangkan 
laporan-laporan asing tentang Banten abad ke-16 dan abad ke-17 juga tak 
pula jauh bedanya dengan laporan tentang kerajaan maritim lain yang 
sedang berkembang. Kisahnya tentu saja berbeda-beda, tetapi suasana 
sosial-politik dan ekonomi memantulkan gambaran yang tak jauh berbeda. 
Jika saja nama-nama orang diganti dan nama-nama tempat ditukar pula maka
 uraian tentang Banten rasanya bisa saja dijadikan tentang Makassar dari
 abad yang sama. Bahkan juga bisa ditukarkan dengan Riau-Johor abad 
ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab Tufhat an Nafis, yang ditulis 
Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau Penyengat, sebuah pulau 
kecil dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan.
Ciri-ciri
 umum ialah persaingan dagang internasional yang meriah, sistem hukum 
berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang, dan 
aktivitas keagamaan menjadi pertanda dari kearifan Sultan. Tidak kurang 
pentingnya ialah suasana ini bukan saja mengundang kedatangan para 
pedagang dari segala penjuru dunia, tetapi juga para ulama. Dalam hal 
ini, baik sumber asing maupun sumber lokal, yang disebut historiografi 
tradisional itu, memberikan kesan yang tidak jauh berbeda. Jadi masuk 
akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan pendekatan sosiologi Max 
Weber untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di kepulauan Indonesia 
atas dua kategori, yaitu maritim dan agraris. Banten, Makassar, Aceh dan
 lain-lain memperlihatkan ciri-ciri yang khas maritim. 
Dengan
 pendekatan ideal type — membuat bentukan analisis berdasarkan sifat 
kategori yang paling ekstrim- maka negara maritim berarti kegiatan 
dagang, kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar. Sedangkan Mataram 
bersifat agraris — keterikatan pada tanah, pertanian, sikap kultural 
yang konservatif, dan cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward 
looking). Konon Sultan Mataram pernah mengatakan pada utusan Belanda 
yang datang menghadap di kratonnya, “Tuan-tuan boleh berdagang di negeri
 saya tanpa bayar pajak, sebab saya bukan pedagang seperti penguasa 
Banten dan Surabaya, yang harus merasa takut dengan persaingan tuan.” 
Penguasa maritim sejauh mungkin ingin mendapatkan keuntungan dari 
perdagangan laut, bahkan kalau perlu — bahkan biasa sekali-mereka pun 
ikut berdagang. Mataram tentu lebih suka mendapatkan upeti dari para 
bangsawan yang telah mendapat lungguh serta menyibukkan diri dengan 
penghalusan kebudayaan dan sistem status sosial.
Dengan 
segala ciri-ciri kerajaan maritim yang diperlihatkan Banten, tentu mudah
 juga dipahami kalau di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa 
(1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari Makassar, Syekh Jusuf
 al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten, tetapi bisa 
merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana 
inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia 
mengirimkan utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh 
anaknya naik haji sambil mengunjungi Turki. 
Tetapi
 di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya yang 
agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah sistem 
yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak dari 
pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli. Maka 
perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi 
persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami 
suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk 
menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah. 
Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng 
bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji. 
Sejak
 itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan” 
saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya 
serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun 
meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan 
pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada 
kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah
 Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi 
Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah, 
tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara
 berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya 
resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda — kesultanan 
telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah 
daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten
 mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari “lahir dan 
tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat 
dagang, melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, 
akhirnya kolonialisme. 
Jika
 diartikan secara harfiah ungkapan Prancis l’histoire se repete, sejarah
 berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau sejarah 
diartikan sebagai salinan yang murni dari “apa, siapa, di mana, dan 
bila”, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan 
ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan 
hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang 
“khusus” dan “umum”. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan
 bahwa “Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi 
kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila),” 
sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah kecenderungan bahwa “raja
 adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda”. 
Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau 
abad yang berbeda-beda.
Meskipun
 dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan dalam 
corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang terjadi pada 
struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat Belanda. Pada 
gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara sebuah bangsa 
yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk melihat sejarahnya.
 Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang 
mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama ini berkisah 
tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng yang durhaka. Dan
 kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli, Max Havelaay, 
yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan pejabat 
yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah hubungan internasional yang 
bercorak subordinatif dan eksploitatif mempunyai akibat sosial yang 
penting.
Di satu pihak, 
kolonialisme mempunyai kemungkinan untuk menciptakan mental dependensi 
(terhadap orang asing) dan kesadaran hirarki sosial yang hegemonik 
(terhadap sesama anak negeri). Akan tetapi, di pihak lain, sifat 
eksploitatif dari kolonialisme kemudian bisa juga menjadi landasan dari 
terwujudnya rasa kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat translokal. 
Nasionalisme yang kolonial pun tumbuh juga. Di samping mempunyai 
pengaruh terhadap sejarah pergerakan kebangsaan, Banten mempunyai tempat
 khusus juga dalam perkembangan historiografi Indonesia. Ketika Sartono 
Kartodirdjo (sekarang Prof Dr) menyampaikan disertasinya tentang 
pemberontakan Cilegon 1888 di Universitas Amsterdam (1966) maka lembaran
 baru sejarah penulisan sejarah Indonesia pun dibuka. Dengan buku untuk 
pertama kali seorang sejarawan Indonesia tampil ke depan dengan 
menyoroti sebuah “peristiwa kecil”, dengan aktor-aktor “orang kecil”, 
ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang bercorak 
multidimensional.
Maka 
dengan begini sebuah alternatif dalam penulisan sejarah diperkenalkan. 
Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang besar kini telah 
didampingi oleh studi yang semakin mendekati pada denyut sejarah 
sesungguhnya-manusia dengan segala keresahan dan harapannya pada tingkat
 yang paling intim, yaitu desa.
Pemberontakan
 Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah 
kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan beberapa hal yang 
fundamental, yaitu semangat independen, “nasionalisme lokal” yang 
kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah 
mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat 
kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin
 tampil sebagai pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang 
berkepanjangan ini ketika “hukum alam” (sebagai kata van Breugel) lebih 
penting dari ketentuan hukum yang berlaku golongan baru pun semakin 
menampakkan dirinya. Mereka adalah para jawara, pendekar yang selalu 
siap membela untuk sesuatu yang dianggap benar. Sejak kejatuhan 
kesultanan hampir tidak ada lagi satu peristiwa di Banten yang bukan 
dimotori oleh ulama dan jawara. Maka bisalah dimaklumi kalau Aceh 
kadang-kadang disebut sebagai negeri “uleebalang dan ulama”, Banten pun 
dikenal pula sebagai negeri ” ulama dan jawara “.
Sejak
 resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan 
Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan 
Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerah-sampingan saja. 
Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat, 
seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan 
buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia Islam, tetapi pada umumnya 
tidak lagi berperan apa-apa yang penting. Pemberontakan “komunis” 1926 —
 seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang (Sumatera Barat) — 
memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika sejarah secara 
keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka. Maka 
mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah 
menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk 
mewujudkan kembali “janji sejarah” yang sekian lama seakan-akan 
terpendam?
GEGER CILEGON
Sumber data : buku Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984
Perlawanan
 bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah 
peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 
yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang 
diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu 
menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui 
pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik 
perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain 
dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan 
Haji Wasid.
Haji Abdul 
Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan 
sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya.
 Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia 
kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di
 Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh 
terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang 
serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar 
pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal 
pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam 
mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, 
Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil 
terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika
 Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 
13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah 
yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, 
Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan 
yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah 
kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung 
menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan 
pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang 
juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu 
disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, 
Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari
 Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji 
Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara
 yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya 
bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti 
Tangerang, Bogor dan Batavia.
Pra Peristiwa Geger Cilegon
Tokoh
 menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang 
pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar
 di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang 
disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf 
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan 
harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan 
seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad 
Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan 
pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga 
pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim 
yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi
 segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan 
segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada
 manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan 
yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa 
besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada 
benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam
 pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di
 Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar 
(pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun,
 sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit 
didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan 
merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" 
menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk 
desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit 
penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.
Untuk
 menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat,
 menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan
 bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk
 menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan 
ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan 
nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya 
tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana 
Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 
orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA. 
Djajadinigrat, 1936:8).
Karena
 musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang
 menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular
 dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya 
membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu 
desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular 
ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun 
turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya 
dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak 
membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat 
tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang 
membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun 
mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. 
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena
 banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat 
ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi 
bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 
1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di 
antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 
1988:88).
Pemandangan di 
desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak 
dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu 
tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali.
 Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a. Kesedihan 
yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di 
Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut 
setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, 
Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. 
Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. 
Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah
 yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya 
membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga 
dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan
 sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun 
suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara 
itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru,
 sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja 
pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, 
pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah 
penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung 
rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 
125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh 
negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar 
jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk 
turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang 
dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, 
pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa 
yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak 
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut
 menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam 
keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka 
yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan 
benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah. 
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar 
yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala 
bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen 
bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan 
penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk 
syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, 
fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak 
dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha 
mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu 
pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan 
pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan 
melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 
1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa 
keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu
 hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya 
menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten 
Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk 
mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat"
 kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen
 menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya 
supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, 
karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem 
ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda 
ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan 
menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Jalannya pemberontakan
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
4
 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki 
di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; 
yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka 
masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di 
rumah H. Iskak di Saneja.
Maret
 April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah 
H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, 
akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
23
 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. 
Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan 
tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian 
tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain 
pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri 
tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan 
kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan 
pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9
 Juli 1888.
Koinsidensi 
sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni 
berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati 
Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat, 
(2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan 
Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya 
desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di 
kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke 
pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus 
larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan
 dan khitanan.
Pada hari 
Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk 
persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang 
Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji
 Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari 
Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji 
Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen 
(penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan 
itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi 
Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji 
Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah 
lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk 
mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini 
hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari 
Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan
 kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah 
dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin 
tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan
 harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba
 untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji 
Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji
 Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji 
Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan 
murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid di
 luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari 
Arjawinangun dan Gulacir yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara 
Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim 
dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir 
pemberontakan.
Pada hari
 itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke
 Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui
 Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui 
Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui 
Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. 
Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang
 dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada 
siap di Cilegon.
Sementara
 itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi
 ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 
Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan 
yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di 
rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid 
mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih 
pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan 
bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung
 oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan sebagai
 pusat penyerangan.
Malam 
itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya
 dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk 
menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam 
tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus 
Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari 
arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, 
Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman
 dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat 
takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam 
beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro 
Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok 
kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari 
Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai
 Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten
 Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di 
Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 
1984:301-303).
Dalam 
keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor 
Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga 
Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, 
asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric
 Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak 
disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri 
yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di 
Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, 
adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. 
Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah 
atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), 
sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut 
rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu, 
adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para pejuang 
(peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan 
kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang 
menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara 
ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi 
tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ... 
djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin 
yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: ' ...
 ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin 
memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56)
Seperti
 yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon 
ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di 
Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di 
daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang 
ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin 
dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, 
Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat 
diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak". 
Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri 
ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama 
Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy 
berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para 
pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, 
sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai 
pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum 
buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris 
dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji 
Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan 
banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, 
dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian 
"Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan 
nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya 
semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan 
menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya 
pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat 
bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian 
seluruh rakyat terhadap penjajah. 
Rakyat
 kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya 
sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk 
pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik
 yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan 
akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. 
Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang 
menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh 
kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan 
itu.
Banyaknya 
pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga 
kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di 
samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa
 kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan 
keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam 
kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama 
pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan 
perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada 
orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi
 Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC,
 sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas 
penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di 
Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad 
ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat 
pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat 
dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini 
saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya 
dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 
kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada 
peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan 
keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak 
mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta. 
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan 
“politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen 
mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit 
melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah
 kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah 
menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan 
mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan
 akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap 
sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial
 dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang" 
(Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa 
Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan 
penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi 
pemerintahan Belanda.
Tetapi
 dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran 
agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat 
Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga 
orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", 
"kapir landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam 
juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. 
Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk
 belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan 
Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. 
Maka
 tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa
 bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau 
sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan
 bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon 
dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. 
Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor 
pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh 
mereka sebagai "anjing belanda".
Keyakinan
 yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk 
asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa 
pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun 
membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat 
pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah
 Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja 
ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal 
dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering 
menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang
 pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja 
asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang. 
Ketakutan
 yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai 
asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar 
dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca 
kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan 
orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan 
mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam
 hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.
Peran Kyai dan Jawara di Banten
Semenjak
 pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan 
dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak 
pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan 
daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak 
dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama dan 
bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang 
Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang 
Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam 
menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal 
bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam 
hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang 
nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam 
daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang 
terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten sudah 
sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat.
 Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak
 hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin 
masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal,
 terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa
 ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai
 dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru 
spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang 
khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih 
dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, 
merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan 
seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 
Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di 
Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan 
dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan 
supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh 
masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis
 para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda 
tajam.
Keunggulan dalam hal
 fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik) 
telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang 
khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan 
terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. 
Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang 
memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan 
terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, 
untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti 
halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba 
ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki 
padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki 
jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. 
Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar
 Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib 
dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman 
Rizal.
Asal-usul kata 
“jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara
 berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang 
paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin 
menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan 
cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral
 (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian 
orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang
 berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di 
desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. 
Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah 
para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun 
kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan 
makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, 
apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut
 Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah 
murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan 
ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan.
 Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di 
daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu 
menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat 
kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, 
mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan 
murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada 
persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. 
Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan 
perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus
 persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah 
khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah 
seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu 
tentaranya kiyai).
Istilah 
jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini 
dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk 
mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi 
untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki
 kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian 
(kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul 
dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang 
lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. 
Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat 
yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk 
orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah 
agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik 
terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan 
ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap 
istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang 
mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main 
perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main 
perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara 
tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu 
kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan 
dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi
 masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung 
negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di 
atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk 
melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, 
mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu 
jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas
 kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh 
Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia
 bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun 
prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam 
beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati 
masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh
 agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai 
orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga 
dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural, 
karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih 
dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan 
semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami 
ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh 
masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga
 ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa 
dilakukan oleh orang-orang biasa. 
Tokoh
 lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan 
disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan 
supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara 
dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu 
persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, 
kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan 
dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu 
kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu 
kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak 
memiliki keberanian. 
Karena
 kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang 
sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat 
Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di 
masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya 
bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya 
tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara 
tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau 
jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena 
keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki 
kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan 
mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya
 kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan 
dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap 
kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah 
kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi 
soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di
 tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh 
mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang 
terlalu besar. 
Kiyai,
 yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak 
bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat.
 Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. 
Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para 
kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa 
awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah 
penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. 
Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran 
para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban 
masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan 
masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang 
mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan
 dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan 
pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad 
Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas 
gerombolannya.
Menurut 
masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar”
 dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari 
ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama
 Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun 
pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian 
dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang 
berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. 
Sedangkan
 jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau 
kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan 
mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh 
dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, 
sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. 
Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, 
terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai
 dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang 
dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan 
bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari 
lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi 
pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki 
pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan 
oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu 
pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan 
kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot),
 guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) 
dan sebagai mubaligh.
Peranan
 seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi 
arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu 
ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu 
menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang 
tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi 
masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih 
cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat 
Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi
 jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau 
magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan
 tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam 
kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para 
jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat 
Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para 
jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa 
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan 
zaman.
Begitu pula ketika 
mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan 
dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya 
tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga 
kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya 
kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) 
dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap 
berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau 
dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di Banten 
Sebelum
 Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata 
cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi 
ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 
peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat 
Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa 
pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. 
Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada 
sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan
 oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal 
dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh 
putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan 
ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten
 adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai 
peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di 
daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang 
sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu 
kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya 
dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan
 sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk 
diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. 
Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang 
menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara 
tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti 
dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah
 Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum 
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum
 Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi 
Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat 
kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula 
dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu 
masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, 
serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan 
masyarakat pada masa itu.
Selain
 itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM 
hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang,
 dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes,
 kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di 
Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6)
 Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal 
dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk 
Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari 
perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan 
Babakan Tanggerang.
Selain 
bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data 
sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara
 ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak 
disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang 
bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang
 berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah 
kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan 
Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada
 awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, 
dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten 
Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk 
menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai 
jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. 
(Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat 
yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk
 selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII,
 kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan 
karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran
 Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M 
dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan 
bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten 
untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan
 oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati 
Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak 
perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya
 lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah
 Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke 
Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya 
dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, 
di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin 
berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang 
bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34)
 Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. 
(Roesjan;1954:10)
Karena 
semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten 
Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin 
sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat 
pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di
 Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton 
Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu 
Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan 
Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari 
pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten 
juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar 
daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa 
perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini 
berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung 
Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi 
Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf. 
(Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan
 Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan 
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah 
mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah 
sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh 
Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten 
seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur 
politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah
 kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan 
sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti;
 Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, 
Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung 
Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. 
Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme
 dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; 
Belanda, Cina, dan Gujarat.
Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah
 bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu 
dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk –
 bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang
 menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. 
Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang 
memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, 
baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.
Di
 Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat
 ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering 
berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal 
mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang
 dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di 
Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh 
keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu
 kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah 
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang 
Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada 
orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea 
(douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane
 itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw. 
Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa 
klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah 
biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat 
sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari
 1300 kepala keluarga.
Kemudian
 dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan 
beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga 
bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang 
lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah 
klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar 
klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi 
yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun
 klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk 
di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini
 lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar 
bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan 
kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding 
tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat 
tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi
 klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk 
(Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena 
dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal 
Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan 
rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama 
seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi 
bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi 
sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan 
dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak 
berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung
 klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita
 tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina 
pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak 
perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan 
melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai 
bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang 
rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu
 Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6
 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten 
sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang
 Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan 
kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata
 uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) 
sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak 
bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di 
Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of 
Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan 
perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang 
artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat 
berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan 
diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah 
Mengamati
 berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan 
menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan 
bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah
 bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara 
fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain 
nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan 
ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis 
untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung 
Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan 
terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai 
pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata 
(krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987). 
Data
 arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon 
Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda 
ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. 
Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan 
sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, 
Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur 
islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan 
Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara 
kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut
 mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia 
yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub
 sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada 
bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya 
kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang 
bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan 
penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
 misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita 
sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia
 cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya 
operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230). 
Sementara
 itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman 
manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs 
arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara 
ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka 
Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan 
gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan 
strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 : 
11-25-1122).
Melihat 
rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah 
memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu 
menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia 
dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini 
menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya 
masalah ini antara lain :
- 
Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan 
miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli
 yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan 
yang dibawa VOC.
- Monopoli 
rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, 
disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran 
rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. 
Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar 
tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai 
daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, 
Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena
 sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua 
kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. 
Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). 
Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang 
menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. 
Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat 
dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang 
diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di
 kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas 
pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di 
India. 
Untuk
 menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana 
pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, 
pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus
 segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana 
dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja 
paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.
Pekerjaan
 pertama Deandles adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon.
 Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten. untuk 
mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang 
direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya 
berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga
 banyak diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat 
Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi 
larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan sultan yang datang ke 
Batavia, Daendels memerintahkan supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.
Sudah
 tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena 
permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi 
dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh 
Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan 
ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah
 utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana 
Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun 
karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, 
maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton 
(Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya 
Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis, 
1881). 
Serangan
 yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, 
sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. 
prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha 
mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat
 meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing 
berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan 
ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum 
pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung
 dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan 
Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah
 Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan 
gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar 
sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada 
biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan 
tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real 
setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II). 
Pengerjaan
 pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang
 mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa 
rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan
 ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles 
melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian 
rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran
 informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan
 jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama 
merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada 
tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada 
pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon).
 Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, 
menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga
 (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang 
jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). 
Dari
 Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur,
 Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara 
Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan 
protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan 
lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena
 banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah 
perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut 
sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim 
Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan 
Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, 
terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya 
Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels 
sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai 
Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas 
mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering 
terjadi. 
Akhirnya
 Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan 
memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten 
yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di 
Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi 
hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan 
rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang 
statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan 
Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam 
Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat
 Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang
 berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan 
Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan 
jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini 
dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan 
beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim 
di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia 
karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan
 jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh
 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya
 surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai 
jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak 
dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah 
fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini 
sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada
 tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute 
Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun 
kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah 
terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat 
menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan 
Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan 
Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal 
tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras 
menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya 
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan 
jalan apapun alasannya.
Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa
 Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. 
Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang 
tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi 
dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti 
naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat 
(folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan 
oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam 
pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada 
karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten
 sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara 
geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, 
meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya 
Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten
 Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang 
ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 
M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan 
dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M). 
Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal 
abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian
 Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang 
dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi 
lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang",
 prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari
 yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires 
(1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting 
Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading), 
"Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk).
 Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah 
politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat
 dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas, 
yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir 
utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang 
berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah 
selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai 
dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan 
berbatasan dengan Samudera India.
Tidak
 banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa 
ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit 
dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang 
menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan 
juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri 
pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota 
Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua 
pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai 
Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari
 beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi 
awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 
Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan 
dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten 
Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan 
posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai 
Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan 
strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam 
di permulaan abad ke 16.
Penelitian
 yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program 
Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan 
sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak 
bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan 
Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan 
ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 
Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang 
penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan 
dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, 
pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang 
logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan 
internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan 
beberapa kawasan di India.
Secara 
nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian 
dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten 
sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada
 saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat 
dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten
 dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum 
Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah
 menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan 
dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang 
banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat 
berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah 
berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun
 Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. 
Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa 
dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa
 dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. 
Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin 
berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki 
peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi
 ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun 
atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah
 berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa
 Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti 
Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar 
Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi 
Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun
 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini,
 mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian
 dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang 
diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan 
lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat 
Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi 
tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan 
benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang
 pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, 
dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada 
saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari 
perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas 
bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada 
Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
 bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara
 itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis 
gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal 
dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara 
Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu
 telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan 
ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan 
baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan 
pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan 
adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. 
Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan 
datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis 
dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke 
Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua 
pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak 
lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana
 telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang 
merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, 
dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan 
Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan 
Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah
 dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru 
didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat
 dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin 
hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah 
transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang di 
pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang 
Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama. 
Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif 
Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi 
masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang
 berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat 
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf 
peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas 
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan 
Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit 
Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten 
dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
(1).
 Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah
 bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di 
Banten Girang (Kota Serang sekarang).
(2).
 Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam 
disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin 
yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi 
keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten
 sebagai pelabuhan - alternatif setelah Malaka.
Pendirian
 kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan 
monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya 
perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang 
melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten 
telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah 
membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi 
perkembangan perdagangan di Banten.
(3).
 Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana 
seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki 
kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, 
Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya 
bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu, 
yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik 
tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke 
Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan
 Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat 
Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya 
(tamaddun Islam).
(4). Fase
 Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung atau
 tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, 
masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5).
 Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas
 perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris 
(1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan 
dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah 
Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu, 
Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen), 
pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
(6).
 Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul
 berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh 
para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah 
penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai 
sekarang memasuki masa pembangunan.
Di
 balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus 
mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus 
menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai 
mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para 
ulama/mubaligh/kiyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak 
pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di 
daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan 
keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan
 dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
awara dalam kehidupan masyarakat Banten
Di
 sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya, 
keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara 
bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya 
ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga 
kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19 
kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat 
selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi
 masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh 
masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. 
Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai 
sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan 
jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi 
kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi
 golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi 
mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara 
dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah 
sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah 
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para 
ulama dan jawara”.
Seiring 
dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki 
pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke hal yang 
negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas dari sepak
 terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam tiga masa
 perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa kerajaan
 Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda. Belakangan, 
kehidupan jawara dengan character building yang khas itu menciptakan sub
 kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu 
Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan ini muncul 
ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga 
sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme. 
Sebagai
 subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam 
melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata
 yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri 
yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan 
memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada 
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang 
sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat 
tradisional.
Penafsiran Sejarah Istilah Jawara
Belum
 adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah 
jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk 
diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini 
diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan 
supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan 
setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri.
 Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah 
sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau 
“history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Dari
 stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk 
daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, 
karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat
 terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang
 melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan 
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles 
(RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun 
Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar
 catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S 
menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki 
empat penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran
 pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai
 perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka 
memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi 
juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke 
khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung 
ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang 
kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalamperkembangan 
selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang 
dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan 
jawara.
Penafsiran kedua, 
ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin. 
Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk 
sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh 
Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan 
batin, militan dan mampu mengahncurkan secara cepat menyusup ke pusat 
pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu 
diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan 
kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini 
menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina secara terus menerus. 
Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran
 ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara
 dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan 
pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi 
yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk 
untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan, 
memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan termasuk 
membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara kampung. 
Lambat
 laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini 
sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila 
tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan
 mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya,
 kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal 
dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan 
bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat 
bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran
 keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap 
pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. 
Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik 
berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan 
kaum santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan 
menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah 
selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya . Sedangkan kelompok kedua
 merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan di bidang bela 
diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan 
fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan 
ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok 
pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah 
kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian
 hari disebut dengan jawara.
Penafsiran
 kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik 
Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles 
(1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat 
merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar 
persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa 
pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada 
mereka.
Pada awalnya 
istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago 
dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun 
memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. 
Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan 
menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu 
mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di 
tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten,
 maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran
 makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada 
abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan 
perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial 
Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang 
dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini 
sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk 
menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga
 mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk
 gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap 
sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot 
(komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak 
saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan 
perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma 
wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani 
menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus 
berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat 
yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring
 dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam 
konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha 
mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan 
berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki 
perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal 
kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi 
kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk 
menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku 
negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara
 umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian 
bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda 
dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu 
menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat 
menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada 
ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama.
 Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah 
jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong 
letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak 
terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda
 dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut 
Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya 
“champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain 
menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi 
golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada 
lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah 
sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di 
kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki,
 jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena 
sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan 
sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat 
sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara 
fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan 
atau sesepuh.
Lalu 
bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword 
dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam 
bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita 
temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, 
non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka 
memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. 
Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif 
(kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada 
kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari 
pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari
 tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna, 
fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak 
terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.
Sumber tulisan:
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten, STAIN Serang, 2002
Kota Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten
 menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang 
lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan 
Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan 
perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak 
pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang 
membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan 
internasional. Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa 
Eropa pada masa itu. 
Cerita
 ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak 
dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang 
tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi 
diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati 
Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang
 lalu.
Buku dalam bahasa 
Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu 
dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para 
peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah 
Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan 
merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini 
berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian 
tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa 
indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah 
dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau bangsa Eropa 
lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan 
besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, 
kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata 
O’Cornesse. 
Menurut
 catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi 
pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota Banten Lama 
yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi 
Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing dengan 
negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.
Kota
 Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai 
kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari 
sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang 
menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal 
Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan 
yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang 
diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada
 abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap 
bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang 
ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten 
terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa. 
Pada
 tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha 
Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama 
Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga 
para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya 
komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu 
jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan 
Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk 
bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari
 lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk 
mengelilingi dunia.
Para 
sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di 
Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun
 di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah 
dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera 
diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota 
Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung 
Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa 
Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten
 bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional 
setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi 
pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya 
Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk
 merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh 
ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan 
dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk 
menguasai dan mempertahankan industri lada, sekaligus berdagang langsung
 dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya. Akhirnya pada tahun 1660-an 
Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan 
model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk 
membangun armada tersebut.
Kesultanan
 Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional yang sangat 
ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672 sampai VOC 
(Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan Sultan Ageng 
Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.
Dengan
 armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan 
Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang 
paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina 
adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. 
Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27
 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini 
digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: 
India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat 
Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok 
Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
sumber :
http://kerajaan-banten.blogspot.com/