Munculnya kaum buruh merupakan salah satu akibat dari munculnya kapitalisme. Menurut pandangan Karl Marx, kaum buruh (proletar) merupakan kaum yang menduduki posisi paling bawah dan tertindas, teralienasi, bahkan terdiskriminasi. Namun, di sisi lain kaum buruh merupakan massa terbesar dalam roda kapitalisme, tanpa keberadaan kaum buruh maka produksi tidak akan berjalan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kaum buruh sebagai penggerak dalam sistem ekonomi industri dan kapitalis. Menjadi kaum buruh, tentu bukan pilihan mereka, melainkan tekanan dari sistem kapitalisme yang ada yang menuntut mereka untuk berproduksi untuk mempertahankan hidup.
Berbagai permasalahan yang melanda kaum buruh merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri dalam ekonomi kapitalis. Dalam tulisan ini penulis lebih menitikberatkan pada permasalahan kaum buruh perempuan di Indonesia. Jumlah buruh perempuan di Indonesia semakin lama semakin mengalami peningkatan yang pesat. Biasanya mereka bekerja pada pabrik rokok, tekstil, garmen, pabrik sepatu dsb dengan posisi yang dianggap pantas dilakukan perempuan. Berbagai permasalahan mengenai buruh perempuanpun muncul. Permasalahanb tersebut antara lain mengenai alienasi. Alienasi yang pertama adalah alienasi dari produk kerja mereka, yaitu buruh perempuan tidak dapat berpendapat dalam menentukan produksi barang. Alienasi yang kedua adalah alienasi terhadap dirinya sendiri, artinya buruh perempuan hanya bekerja layaknya mesin dengan demikian maka buruh perempuan akan mengalami krisis psikologis. Ketiga, teralienasi dari manusia lain, maksudnya dengan struktur kapitalisme tersebut menjadikan buruh perempuan satu sama lain sebagai saingan. Keempat, para buruh perempuan teralienasi dari alam.
Permasalahan lain yang juga dirasakan buruh perempuan antara lain pelecehan seksual, sedikitnya jumlah upah yang mereka terima, dan kerja lembur dengan upah yang tidak sesuai. Selain itu, penetapan sistem kontrak dari perusahaan justru akan membuat perempuan tidak leluasa dan bekerja seakan-akan dirinya adalah mesin, dan bekerja bukan berdasarkan kesadaran mereka sendiri, namun berdasarkan kesadaran yang terbentuk dari sistem tersebut. Masalah lain juga muncul apabila buruh tersebut adalah Ibu rumah tangga yang tentunya juga harus bekerja dalam ranah domestik, hal ini akan menimbulkan beban ganda bagi perempuan dan mengakibatkan semakin banyakya pekerjaan bagi perempuan tersebut. Karena dua ranah pekerjaan (publik dan domestik) harus mereka selesaikan.Rapi Amiko Martunus
Menurut pandangan feminis Marxis, dengan masuknya perempuan kedalam sektor indusrri, yakni sebagai buruh justru akan menambah ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan. Karena pemilik modal memiliki kekuasaan dan alat produksi yang pada akhirnya permpuan hanya dihadapkan dengan dua pilihan yaitu dieksploitasi atau tidak bekerja. Sebagai buruh perempuan, maka eksploitasi dari pemilik alat produksi tidak dapat dihindarkan. Kaum buruh perempuan tereksploitasi bukan untuk kepentingan kaum buruh sendiri, namun karena kepentingan para kapitalis.
Dengan keadaaan kaum buruh perempuan yang demikian, maka akan muncul kelas bawah yang didomonasi oleh perempuan. Karena selama ini buruh perempuan hidup dalam keadaan miskin, manerima upah yang cukup secara subsisten atas pekerjaan yang melelahkan. Semantara posisi atas yang atas biasanya didominasi kaum laki-laki akan menambah jurang pemisah menjadi semakin lebar akibat sistem kapitalisme ini. Hal ini yang kemudian menjadi dasar para pemikir feminis marxis bahwa dengan masuknya perempuan kedalam kapitalisme justru akan menambah dan semakin memperdalam diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ditambah lagi, sebagai buruh dalam sektor industri kapitalisme perempuan juga akan mengalami alienasi. Alienasi tersebut menyebabkan buruh perempuan mengenggap dirinya seperti orang lain, dengan kata lain mereka tidak mengenali dirinya sendiri. Oleh karena itu feminis Marxis ingin menciptakan dunia perempuan menjadi dirinya sebagai manusia utuh dan berintegrasi dengan masyarakat.
Untuk mewujudkan perempuan yang demikian maka perlu adanya konflik kelas. Kesadaran tiap kelas harus menjadi merupakan penggerak utama untuk melawan majikan atau para kapitalis. Dalam kasus buruh perempuan ini setiap buruh perempuan harus mempunyai kesadaran kelas dan menggerakkan buruh perempuan lain untuk menuntut adanya perubahan sistem dalam perusahaan. Secara konkrit wujud konflik kelas ini dapat berupa demonstrasi maupun protes. Walaupun demikian perubahan sistem yang sifatnya mendasar akan tetap sulit dilakukan. Namun dengan adanya konflik tersebut paling tidak akan membuka peluang bagi buruh perempuan untuk terbebas dari diskriminasi, alienasi dan kekerasan yang terjadi dalam proses produksi kapitalis. Konflik diharapkan pula mampu menghilangkan ketidakadilan yang dirasakan buruh perempuan, dan pada akhirnya akan mewujudkan suatu masyarakat dimana laki-laki dan perempuan bersama-sama membangun sesuai dengan perannya.
Menurut pandangan feminis Marxis yang paling utama untuk menghilangkan ketidakadilan bagi perempuan adalah dengan cara tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk masuk ke sektor industri sebagai buruh. Kunci pembebasan perempuan adalah dengan cara sosialisasi pekerjaan domestik. Seorang perempuan lebih baik tidak memilih untuk bekerja di sektor industri supaya mereka tidak merasa terdiskriminasi. Namun, masalah lain muncul seperti yang terjadi di Indonesia, ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi buruh di sektor industri seringkali bukan karena kehendak sendiri melainkan keterpaksaan karena himpitan ekonomi. Disisi lain mereka menyadari bahwa dengan bekerja sebagai buruh pabrik maka mereka harus siap terbelenggu.
Permasalahan diatasdapat diatasi sesuai pendekatan feminis Marxis yang menawarkan sebuah konsepsi yaitu dengan nilai setara bagi perempuan buruh industri. Nilai setara merupakan pemberian upah yang sama besar antara buruh laki-laki dan perempuan sesuai dengan spesialisasi pekerjaan yang mereka lakukan. Nilai setara juga dapat diwujudkan dalam pemberian upah yang sesuai dengan pekerjaan apa yang dilakukan berdasarkan lama waktu bekerja, tuntutan mental pertanggungjawaban dan kondisi pekerjaan. Nilai setara ini kemudaian dapat direalisasikan pula dengan adanya cuti haid, melahirkan, menyusui dan merawat bayi. Hal ini merupakan keistimewaan yang semestinya ada dan dilaksanakan untuk menghilangkan ketidakadilan bagi perempuan.(Rapi Amiko Martunus)
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan bagi perempuan seringkali bukan hanya terjadi di sektor domestic saja, namun terjadi ketiadakadilan yang lebih nyata di sektor publik. Walaupun feminis Marxis beranggapan demikian, namun pada akhirnya muncul sebuah pemikiran yang bersifat kebebasan terhadap perempuan untuk bekerja sesuai dengan pilihannya baik di sektor publik maupun domertik tanpa adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Nilai setara merupakan konsepsi yang dianggap paling baik untuk diterapkan dalam sektor publik bagi buruh perempuan,