“Kamu yakin ayahmu hanya pura-pura sakit?”
“Mungkin memang sakit. Tapi aku rasa sakitnya tidak separah itu”
*****
Dia telah menghancurkan hati Ibu. Dia telah membuat Ibu jatuh sejatuh-jatuhnya. Dia juga telah membiarkanku juga Rey berangkat sekolah dengan sepatu yang bolong. Dengan uang saku yang hanya cukup untuk ongkos saja. Itupun dari pinjaman tetangga yang merasa kasihan pada kami. Bahkan tak jarang aku dan Rey terpaksa jalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh.

Sebelum menginjak usiaku yang ke-16 hidupku terasa sangat sempurna. Kasih sayang yang utuh dari Ibu dan Ayah. Perhatian yang selalu tersaji dengan manis setiap harinya. Usaha Ayah yang melaju pesat dengan sikap dermawannya yang senang berbagi dengan siapapun atas hasil yang ia dapatkan. Sikap yang sangat aku banggakan dari sosok Ayah yang kumiliki.
Namun semua hilang tepat di ulang tahunku yang ke 16. Aku merasa ada yang tidak beres di rumah ini. Ibu dan Ayah jarang sekali memperlihatkan keharmonisan mereka di depanku juga Rey, adikku. Bahkan kini Ayah sudah jarang pulang ke rumah, membiarkan kami menunggunya dalam kecemasan. Membiarkan Ibu mondar-mandir mengetuk pintu tetangga hanya untuk meminjam 1 liter beras. Membiarkan Ibu berjuang menghidupi kami. Kemana Ayah?
Setelah beberapa bulan tak pulang, akhirnya dia kembali. Kembali dengan Ayah yang berbeda. Aku merasa kasih sayang yang Ayah berikan pada kami sudah tak utuh lagi. Bagai telah terbagi. Ayah pulang memberikan uang pada Ibu, lalu pergi lagi dalam waktu yang tidak sebentar. Hampir beberapa tahun berjalan dengan kisah yang sama. Pulang hanya sekedar memberi uang yang tak bisa dikatakan cukup, lalu pergi kembali tanpa mencium kening Ibu, aku dan Rey seperti dulu yang selalu dilakukan Ayah ketika berangkat kerja. Ayah tidak mengerti, bukan hanya uangnya yang kami harapkan, tapi kasih sayang dan perhatiannya seperti dululah yang sangat dirindukan di rumah ini.
******
Setelah lulus SMA aku semakin mengerti luka yang Ibu sembunyikan selama ini. jika dulu setiap kali aku bertanya kemana Ayah, jawabnya selalu urusan pekerjaan. Namun, semakin bertambahnya usiaku, aku mengerti, aku paham, Ayah memang telah berubah berubah 180 derajat dari Ayah yang dulu. Kini aku tahu ternyata di luar sana Ayah merajut asmara dengan wanita selain Ibu. Hatiku hancur dengan seketika membenci sosok Ayah yang dulu aku banggakan. Jika aku saja sedemikian hancurnya apa lagi Ibu yang telah mendampingi Ayah selama 20 tahun ini. Menemani Ayah yang menikahinya sejak Ibu berusia 16 tahun, usia yang sangat belia. Namun Ibu tak bisa menolak karena nenekku sudah tak ada saat Ibu berusia 16 tahun. Pilihan menerima pinangan Ayah juga tak terlepas dari pikiran agar ada yang melindungi. Berusaha menumbuhkan cinta di setiap harinya dalam kehidupan rumah tangga yang mereka jalani, hingga cinta itu ada dan bersemai dengan indah. Menjadikan diriku ada dan Rey sebagai pelengkap kebahagiaan mereka. Kisah cinta yang indah dan sempurna.
Memasuki tahun ke-21 pernikahan Ibu dan Ayah, sikap Ayah mulai berubah seiring bertambah majunya usaha yang Ayah jalani. Keretakan itu justru terjadi di usia pernikahan mereka yang sudah tak bisa dikatakan muda.
Kini aku hanya bisa berusaha menguatkan Ibu, memeluknya ketika Ibu butuh pelukan seorang suami, menghapus air mata Ibu ketika mulai membanjiri pipinya yang selalu aku kecup manja.
Banyak omongan miring tentang Ayah di luar sana. Tersiar kabar jika Ayah telah menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuan Ibu. Saat Ibu mendengar kabar itu dari adiknya langsung, Ibu begitu lemah. Seakan persendiannya terasa lumpuh.
Wanita yang dinikahi Ayah, di mataku tidak lebih dari seorang wanita perebut suami orang yang kala itu sedang naik-naiknya. Wanita itu memang bohai, bodynya memang aduhai, tapi aku sangat benci wanita itu, karena telah membuat Ibu menderita, karena telah merebut kebahagian kami dan menjadikannya luka.
Aku mulai tak tahan dengan semua pemandangan yang terasa sadis ini. Ayah selalu membanding-bandingkan Ibu dengan wanitanya yang bohai nan aduhai itu. Tidakkah Ayah berpikir siapa yang selama ini menemaninya sampai ia berteman sukses? Mungkin Ayah telah dibutakan dengan tipu daya dunia yang tersamar dalam kecantikan.
Sekian hari Ibu tenggelam dalam air mata yang selalu menjadi temanya selama beberapa tahun belakangan ini. Akhirnya sebuah perpisahan menjadi pilihan ketika tak ada lagi yang bisa dipertahankan.
*****
Seolah terlepas dari beban yang mencengkramnya. Kini Ibu lebih bisa menerima apa yang telah terjadi, mencoba mengikhlaskan apa yang telah dimilikinya selama ini. Mungkin Ayah hanya akan menjadi masa lalu Ibu yang tak akan pernah kembali.
Aku, Ibu, dan Rey tetap meneruskan hidup tanpa seorang Ayah disisi kami. Lagi pula kini aku dan Rey telah cukup dewasa, urusan makan tak lagi perlu kau hiraukan Ayah. Aku dan Rey bisa menafkahi hidup kami sendiri juga Ibu.
Hingga tiba dimana aku menemukan cinta yang menyempurnakan hidupku. Cinta yang hampir sama maknanya dengan cintaku terhadap Ibu. Lelaki yang telah menjadi kekasihku dua tahun kebelakang meminangku, memintaku kepada Ibu untuk ia jadikan Istri. Aku terharu ketika mendengar calon suamiku meminta restu dari Ibu dan melamarku di depan keluarga besar kala itu, walau merasa ada yang kurang karena Ayah tak ada, tapi itu tidak akan merusak kebahagianku bersama Ibu dan keluargaku yang lain.
H-2 pernikahan, Aku mendekat pada Ibu yang terlihat merenung sendiri, aku tanya kenapa, beliau memelukku dan tak aku sangka setitik air jernih turun melintasi garis pipi Ibu, seolah Ibu tak ingin melepasku, akupun ikut menangis kala itu.
“Ibu tak usah khawatir, setelah menikah nanti, Ibu ikut denganku”.
*****
Tiba saatnya hari dimana Ijab dan Qabul akan disenandungkan. Ijab? Haruskah Ayah yang mengucapkannya? Iya, dia memang tetap harus menjadi wali dalam pernikahanku, walau aku tahu ini tidak akan mudah bagi Ibu, ketika melihat laki-laki yang telah membuatnya hancur hadir kembali di hadapannya. Tapi Ibu tetap berbesar hati.
Lelaki itu datang, dia datang mengenakan batik yang serupa dengan wanita bohai itu dan kedua  anak perempuannya. Ya Tuhan, dia datang bersama keluarga barunya di pernikahanku. Hatiku sakit melihat ini, seolah masih tak bisa terima jika semua telah terjadi. Sebetulnya aku dan Ibu mungkin telah mengikhlaskan, tapi ketika dia muncul bersama dengan wanita itu, rasanya sakit kembali hadir, kembali menusuk-nusuk jantungku, apa lagi Ibu.
Ayah berhasil membuat tangis yang tak seharusnya di pernikahanku, namun saat itu Aku tidak terlalu peduli, lagi pula ini harus menjadi hari bahagiaku. Namun, bagaimana dengan Ibu? Apa Ibu sanggup melihat ini? Aku tak bisa bayangkan itu.
Selama Ijab dan Qabul berlangsung, ternyata wanita itu cukup tahu diri dengan tidak ada di hadapan keluarga besar kami terlebih Ibu. Syukurlah Ijab dan Qabul telah berlangsung, Ibu? Ibu terlihat menahan tangis. Ayah dan Ibu hanya saling memandang tak begitu lama tanpa bersuara. Memang tidak ada cinta lagi dari keduanya, yang tersisa hanya luka.
Wanita itu? Wanita itu terlihat bernyanyi dan bergoyang diatas panggung kebahagianku. Dia bernyanyi di temani Ayah di sampingnya. Apa wanita itu tidak berpikir jika ini adalah pernikahanku? pernikahan anak dari lelaki yang telah ia rebut dari Ibuku, apa Ayah dan wanita itu tidak berpikir bagaimana perasaan Ibu melihat mereka bermesraan di atas panggung kebahagianku?
Ibu sudah tak nampak dalam acara bahagiaku, rupanya ia mengurung diri di kamar, menangis dalam kesendiriannya. Aku bisa mengerti apa yang Ibu rasakan saat itu, tapi aku harus tetap berada di pelaminan menghargai tamu yang terus berdatangan.
Rasanya ingin aku usir saja mereka dari sini, tapi tidak mungkin, aku telah dengan manis mengenakan kebaya putih ini, dan harus tetap menebar senyum pada mereka yang datang.
Bisik-bisik yang ku dengar dari sebagian tamu undangan yang merupakan tetanggaku tak aku hiraukan. Namun aku simpati dengan mereka yang peduli terhadap Ibu, “dasar wanita tidak tahu diri, bisa-bisanya dia berlenggok-lenggok di pernikahan Nak Sasmi..” bisik seseorang yang terdengar saat mengantri untuk menyalamiku.
*****
Semua telah berlalu. Kini aku menikmati peranku sebagai seorang istri juga sebagai seorang Ibu, suamiku membuka usaha konfeksi dan kami menjalankannya bersama, kini aku telah memiliki seorang  jagoan berusia 6 tahun dan putri kecil berusia 2 tahun, begitu pula dengan Ibu yang telah bisa terbiasa tanpa Ayah dan menikmati perannya sebagai seorang nenek yang begitu mencintai cucunya, kami hidup sederhana namun bisa menikmati semua anugrah yang Tuhan berikan untuk kami.
*****
Aku dengar jika usaha Ayah mengalami kemerosotan, tapi aku tak begitu menghiraukannya, walau terbesit sedikit rasa iba, namun bukankah ada keluarga yang selalu di banggakannya, aku rasa mereka sudah cukup bagi Ayah, namun ternyata semua tak seperti yang ku pikir, wanita yang dulu bohai dan aduhai itu kini menjadi seorang TKW jauh dari segala kemewahan. Tinggallah Ayah dengan anak-anaknya dari wanita itu, mengurus mereka sendiri tanpa seorang istri, dan yang ku tahu, anak bungsu Ayah tak jauh beda usianya dengan putra pertamaku sekitar 6 tahun. Di usianya yang tak lagi muda Ayah harus merawat tiga anaknya sendiri, kasihan rasanya, namun ini sudah menjadi pilihannya yang tak bisa ditawar lagi.
Akhir-akhir ini Ayah sering mengunjungiku, sekedar meminta uang untuk beli susu anaknya, aku gregetan sendiri pada Ayah, coba saja dulu Ayah tak menikah lagi, mungkin dia tak akan repot mengurus anaknya yang masih kecil ini. Ayah lebih cocok menjadi seorang Kakek, pakaian yang selalu membuatnya terlihat gagah kini tak ku lihat, dia datang hanya dengan kaos oblong dengan memangku putri kecilnya, kasihan, walau bagaimanapun dia tetap Ayahku, aku selalu mempersilahkannya makan dan membekalinya uang ketika ia pulang, sering kali ketika Ayah datang kerumahku Ibu selalu sembunyi tak menunjukan rupanya pada Ayah, ku kira lukanya masih ada walau ia telah memaafkan, memaafkan bukan berarti telah melupakan.
Selang bulan aku mendapat kabar lagi dari pamanku, jika istri Ayah telah pulang namun dia meminta cerai pada Ayah, dengan alasan uang, uang kirimannya selama wanita itu menjadi TKW telah Ayah habiskan entah kemana, mungkin dihabiskan dengan wanita yang lebih aduai,  lihatlah! Inikah wanita yang selalu kau banggakan Ayah?
Usia Ayah tak lagi muda, dia sakit-sakitan dan tak ada yang merawat, kemana ia kembali? Jelas kepada kami, kepada aku, Rey dan Ibu. Tapi ibu menolak untuk kembali bersama.
Aku peduli pada Ayah, aku sewakan sebuah kamar yang cukup luas untuk dia tempati, tak jauh dari rumahku agar aku bisa merawatnya walau tak bisa seutuhnya karena menjaga perasaan Ibu, hanya memberikan makanan 3 kali dalam sehari yang ku simpan di kamarnya dan meninggalkan uang untuknya membeli apa yang dia mau, walau tak besar.
Rupanya walau Ayah tak muda lagi, dia masih bisa berpolah layaknya remaja yang dimabuk asmara, setiap hari uang yang ku berikan padanya dibelikan pulsa untuknya bertelponan dengan wanita-wanita yang entah siapa, entah tau atau tidak jika Ayah bukan lagi seorang milyarder.
Ayah masih memiliki cinta, cinta? Cinta yang ingin dia bawa kepelaminan. Dia meminta untuk dinikahkan dengan janda pilihannya yang sama-sama tak lagi muda itu, Oh Tuhan, apa ini? Tapi biarlah Ayah menikah lagi dan tinggal bersama janda itu agar tak merepotkanku juga Rey, pikirku kala itu, lagi pula Ayah memaksa dan merajuk pada kami, akhirnya Aku dan Rey mengabulkan permintaan Ayah walau sedikit malu dengan tetangga yang mengantar, masa iyah sudah tua, sakit sakitan pula, masih ingin menikah saja, bukannya mendekat pada Tuhan dan taubat. Aku dan Rey pun melamar janda tua itu untuk Ayah, dan singkat cerita merekapun hidup bersama.
Hanya bertahan satu bulan, akhirnya Ayah kembali. Kembali pada siapa? Kepada siapa lagi jika bukan pada kami, keluarga yang telah dia sia-siakan.
Aku lelah dengan sikap Ayah yang tak berubah walau telah tua. Dia kembali menempati kamar yang kusewakan untuknya.
Kini dia kembali sakit-sakitan, tak jarang aku memanggil Rey yang juga telah berkeluarga untuk sama-sama membawa Ayah ke rumah sakit, penyakit orang yang sudah tak muda lagi, sudah biasa, kondisinya yang mulai melemah, bahkan kini Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur, menungguku membawakan sarapan.
Dengan sabar aku merawatnya, walau kadang jengkel ketika ingat yang lalu-lalu, namun aku tak mau jadi anak durhaka, aku tetap menjalankan kewajibanku merawat Ayah, begitu pula dengan Rey.
Kian hari Ayah mulai melemah, hari kehari pula Ayah semakin manja ku rasa, jika aku telat datang, dia memarahiku dan mencaciku anak durhaka yang membiarkan Ayahnya yang sakit kelaparan, padahal hanya telat  beberap menit saja, lagi pula aku punya anak kecil yang harus ku urus segala persiapannya di pagi hari sebelum mereka sekolah, tak jarang piring-piring plastik dan gelas berantakan dimana-mana sengaja ia lempar-lemparkan kala menungguku datang, Ayah tak ayal seperti anak kecil saja kini, memang benar ketika tua seseorang akan balik ke balita, itu yang ada di pikiranku.
Ayah benar-benar hanya bisa terbaring walau tangannya masih bisa di gerakan untuk melemparkan piring dan gelas itu, bahkan buang hajat pun kini di tempat pembaringannya, mandipun kini aku dan Rey yang memandikan, tak jarang jika setan telah menang mempengaruhiku aku selalu menggerutu sendiri, menyalahkan Ayah, memarahi Ayah, walau itu hanya ku gumamkan dalam hati.
*****
Suatu ketika saat aku hendak membawakan makan malam untuk Ayah, sebelum aku masuk kamarnya aku melihatnya di balik jendela yang sedikit terbuka, aku memperhatikannya, dia memang terbaring lemah dan tak ada yang bisa dilakukan selain terbaring, namun beberapa saat, aku melihatnya terbangun dan duduk memandangi ke arah luar dengan tangan yang bisa ia gerakan, dia tak benar-benar sakit parah, dia telah membohongi kami, gumamku dalam hati, dan ketika aku membuka pintu, dengan segera dia menjatuhkan dirinya ke kasur, lelucon macam apa ini, aku memasang wajah jengkelku, aku marahi Ayah tak lagi dalam hati, aku keluarkan semua uneuk-uneuk ku, walau aku mengatakannya dengan derai tangis karena sadar ini adalah perbuatan yang salah, walau bagaimanapun seorang anak tetaplah berkewajiban merawat orang tuanya dan menyayangi dia apapun yang terjadi, harus sabar merawatnya sebagaima dia merawatku dan menyayangiku saat kecil, tapi aku manusia biasa yang bisa saja khilap dan emosi, lagi pula Ayah telah membohongi kami untuk kesekian kalinya bahkan kini Ayah membohongi kami perihal sakitnya.
Aku tinggalkan dia dengan makanan yang tadinya aku berniat untuk menyuapi Ayah, namun tak jadi ketika barusan yang ku lihat Ayah bisa terbangun dan menggerakan tangan dan tubuhnya, aku meninggalkan makanan itu disamping Ayah, membiarkan Ayah memakannya sendiri.
Aku menangis menceritakan semua pada Ibu, Ibu juga seperti menahan tangis, namun Ibu sudah tidak berkewajiban merawat Ayah, lagi pula kini Ibu bukan lagi mahram nya Ayah, namun Ibu lah yang selalu menyediakan makanan untuk Ayah, tapi perihal memberikan dan menyuapinya itu menjadi tugasku, dan tugas memandikan Ayah tak mungkin Ibu membantuku haram hukumnya, itu tugasku dan juga Rey.
Esoknya ketika hendak memandikan ayah sekitar jam 05.00 subuh, kondisinya benar-benar melemah, benarkah ini? sedang tidak bersandiwarakah dia? Namun kenyataannya dia terlihat tidak sedang bersandiwara, aku memanggil beberapa tetangga dan minta bantuan atas Ayah.
Singkat kata, Pamanku adiknya Ibu terlihat melantunkan ayat-ayat suci di samping ayah, nafas Ayah mulai melemah, dia sedang menghadapi syakaratul mautnya, kini tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya, nafas Ayah terdengar sudah tak wajar, detak jantungnya melemah, ada setitik air yang jatuh di sudut matanya, kini Ibupun terlihat ada di samping Ayah ikut melantunkan ayat-ayat suci untuknya, Ibu manangis, menangis dalam lantunan dzikirnya, Ibu minta maaf pada Ayah, Ayahpun hanya membalasnya dengan suara nafas yang terdengar sedikit naik di iringi setitik tangis yang jatuh kembali dari pelupuk matanya.
Tokoh agama yang pada saat itu juga ada, mengatakan mungkin ada sesuatu yang masih di tunggu Ayah hingga mempersulit dia melewati syakaratul mautnya.
Kata terakhir yang aku dengar secara terbata dari Ayah ialah “ M I R N A” Ayah menyebutkan sebuah nama yang ku tahu itu adalah nama anak bungsunya dari wanita yang telah menceraikan Ayah.
Rey segera mendatangi alamat dari kediaman Mirna juga Ibunya dan anak-anaknya yang lain.
Adikku kembali namun tanpa mereka, tanpa Mirna, ataupun wanita itu.
Ibunya tak menginjinkan Mirna di bawa kesini, dan anak pertama Ayahpun tak mau datang kesini, sudah ku jelaskan jika kini keadaan Ayah sudah sangat darurat dan sangat membutuhkan mereka disini, begitu tutur Rey kala kembali dengan tangan kosong.
Mereka tak datang hingga Ayah menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 09.00 pagi.
Aku menyesal karena sempat memarahi Ayah sebelum pada akhirnya dia meninggal, aku menyesal kenapa tidak ku suapi dia di makan malam terakhirnya, aku menyesal karena aku berpikir jika Ayah hanya pura-pura sakit.
Setelah Ayah di mandikan dan di kafani, ku kabari keluarga Ayah yang subuh tadi tak mau datang, mengatakan jika Ayah telah wafat. Selang beberapa Jam sekitar jam 11.00 pagi mereka datang ke rumahku.
Tangis tak terbendung ketika melihat seorang putri kecil berlari dan memeluk Ayah yang sudah terkafani dengan kain yang menutupinya, dia berteriak dalam tangisnya “Bapak…. Mirna ada disini, Mirna minta maaf sama Bapak, Bapak bangun” ucap gadis kecil yang ternyata adalah Mirna menangis sesegukan, lalu wanita yang tak lain adalah Ibunya ikut menangis di susul dengan Anak pertama Ayah yang langsung tak sadarkan diri melihat Ayahnya yang tidak di temuinya subuh tadi kini telah terkujur kaku tak bernyawa.
Si gadis kecil terlihat ngambek pada wanita itu, “Gara-gara Mamah tak mengijinkanku ikut bersama Abang Rey tadi pagi menemui Bapak, jadi sekarang Bapak meninggal, ini semua gara-gara Mamah” gadis kecil yang polos, aku menghampiri dan memeluknya dengan berkata dalam hati “kamu adikku”.
Aku melihat Ibu yang juga berusaha menenangkan wanita yang menjadi madunya itu.
“Maafkan aku Mba, aku kira keadaanya tidak separah ini”
“Sudahlah, kita do’akan yang terbaik saja”
“Aku mohon maafkan aku atas kesalahan yang pernah ku perbuat pada keluarga Mba”
“Semua sudah berlalu tak usah kau sesali, aku telah memaafkanmu, aku juga minta maaf bila ada salah, sekarang kita do’akan saja beliau tenang di sisinya”
*****
Semua telah berlalu, Ayah telah mengakhiri petualangannya di bumi dan kembali pada Sang Pencipta, semoga Ayah damai disana.
-Pesan yang ingin disampaikan dalam narasi ini-
1. Harta. Tahta. Wanita. Memang selalu menjadi kelemahan bagi kaum laki-laki. Jangan mudah tertipu daya topeng dunia yang tersamarkan dalam kecantikan.
2. Ingatlah wanita yang telah menemani ketika susah, dan mendampingi menuju kesuksesan.
3. Laki-laki bisa sukses karena wanita, tapi laki-lakipun bisa hancur karena wanita.
4. Tetaplah menjadi layaknya seorang anak yang harus berbakti kepada kedua orang tua walau bagai manapun mereka, jangan sampai penyesalan menyapamu.
5. Seburuk apapun orang tua, tetaplah mereka harus di hormati dan di sayangi dengan sabar seperti mereka yang merawat kita dengan penuh kesabaran di saat kita masih kecil.
6. Mengikhlaskan memang tak mudah, tapi dengan keikhlasan semua beban terasa ringan.
7. Terakhir, silahkan simpulkan sendiri pesan yang terkandung dalam kisah yang benar-benar ada disekitar kita ini.
Semoga ada pesan yang dapat dipetik dari kisah di atas yang merupakan strue story. Semoga menjadi pengingat untuk kita semua bahwa dunia ini hanya sementara.
Jika ada penokohan yang kurang terpuji mohon dimaafkan dan jangan diikuti. Jadikanlah sebagai contoh agar tak mengikuti.