Mr- Miko - Dari sekian banyak sebutan terhadap organisasi ini, Forum Studi Islam (FSI) merupakan nama paling populer. Bahkan ketika disebut FSI saja, semua yang mendengarkan telah mempunyai gambaran yang sama tentang apa yang dimaksudkan.
FSI merupakan salah satu kegiatan ekstra-kurikuler yang menjadikan
nilai-nilai keislaman sebagai ciri khas organisasi ini dibanding
lembaga-lembaga lainnya. Walau bermula dari lingkungan
kampus—mahasiswa, namun sekarang fenomena FSI juga berkembang di
sekolah-sekolah.
Fenomena FSI sedikit banyak telah memberikan nuansa baru dalam
kehidupan masyarakat muslim di Indonesia, khususnya kalangan mahasiswa.
FSI berupaya menjadikan aktivisnya sebagai cerminan lengkap tentang
gambaran seorang muslim. Islam tak hanya soal ritual belaka, tapi ritual
itu hendaknya memengaruhi tingkah perilaku pemeluknya untuk hidup
islami. Pun demikian dengan ajaran-ajaran Islam lainnya. Kesempurnaan
nilai dan luasnya cakupan aturan Islam diyakini sebagai solusi nyata
untuk kehidupan yang paling baik.
Akan tetapi dalam perjalanannya memasuki tahun-tahun terakhir ini, organisasi ini tak lebih dari sekadar event organizer
yang sibuk mengangkatkan sedikit acara ini dan kegiatan itu sebagai
bukti eksistensinya. Sering pula yang sedikit itu tanpa persiapan matang
sehingga jauh dari kata sukses hingga sepi peminat. Samar sekali
gaungnya menyuarakan kebenaran Islam. Parahnya, kesan kuat bahwa
organisasi ini sebagai perpanjangan tangan partai politik tertentu
tidak dapat lagi disembunyikan.
FSI sebagai pelaku sejarah mau tidak mau juga mengalami proses
sejarah. Kemunduran sebagai oposisi kemajuan, merupakan fitrah dalam
perjalanan kehidupan setiap komunitas. Untuk menjadi pelajaran berharga
hingga ke depan lebih baik lagi. Setiap peristiwa selalu saja mempunyai
hikmah yang dapat dipetik. Terkadang memang terlambat untuk mendulang
hikmah sejarah itu, atau sama sekali mengabaikannya karena terlalu
sibuk memikirkan masa depan hingga tak sempat sejenak saja menapaktilasi
peristiwa masa lampau.
Di antara faktor utama—mungkin juga terutama—penyebab kemunduran FSI
adalah ketidak tahuan para penggiat atas nama organisasi ini sendiri.
Ketidak tahuan terhadap nama ini menunjukkan krisis identitas, sehingga
dalam aktivitasnya terjadi kekaburan gerak yang digunakan dalam mencapai
tujuan-tujuannya. Padahal untuk meraih keinginan, semestinya
disesuaikan dengan kadar kemampuan diri. Mengenali kadar diri tak lain
tak bukan beranjak dari pengetahuan atas diri sendiri. Nama adalah
cerminan sederhana, namun sarat makna.
Apa yang terlintas dalam pikiran jika disebut Forum Studi Islam atau
FSI? Mahasiswa berjenggot dan mahasiswi berjilbab lebar? Mahasiswa
yang tinggi semangat keislamannya? Yang berkomitmen atas agamanya? Jika
jawabannya ya, maka sama sekali tidak salah walau tidak pula sepenuhnya
benar. Tak sepenuhnya benar bagaimana? Tak sepenuhnya benar karena
jawaban-jawaban tadi merupakan sekilas hasil pengamatan visual saja.
Seharusnya, ketika disebutkan FSI, pertama kali yang harus dilakukan
adalah memahami arti harfiah dari FSI itu sendiri. Forum bermakna
wadah, tempat bertukar pikiran. Studi berarti pembelajaran atau
pengkajian. Islam adala agama keselamatan. Jadi dapat dikatakan bahwa
Forum Studi Islam adalah suatu organisasi yang mengkaji Islam.
Pertanyaannya adalah sudahkah FSI dalam kegiatan-kegiatannya
mencerminkan hal seperti itu?
Sejauh ini belum ditemukan rancangan kegiatan FSI yang berorientasi
pada bidang keilmuan Islam secara rinci. Kalaupun ada itu baru sebatas
pada pembentukan wacana, seperti kegiatan tatsqif (majelis ilmu
sekali sepekan dengan topik berbeda di setiap pertemuan) dan
sejenisnya. Padahal untuk kalangan civitas akademika bukan merupakan
hal yang sulit jika Islam dipelajari dengan disiplin ilmu tertentu
seperti tujuh dasar keilmuan Islam yang wajib bagi setiap muslim bahasa
Arab, ilmu Akidah, ilmu Alquran, ilmu Sunah, ilmu Usul Fikih dan Fikih,
serta ilmu Akhlak. Memang demikianlah seharusnya.
Akan tetapi, selalu saja ada banyak alasan bagi kalangan terdidik ini
sehingga mempelajari Islam dengan tujuh disiplin ilmu di atas dirasa
memberatkan. Tanggung jawab perkuliahan saja sudah menyita hampir
semua waktu. Menjadi sangat menyusahkan bila harus pula menambah
tanggungan baru dengan menekuni disiplin-disiplin ilmu tersebut. Belum
lagi jika kesibukan lain seperti rapat, mengangkatkan suatu acara, dan
sebagainya. Benar-benar terlihat tidak mungkin.
Sejatinya, alasan-alasan itu seharusnya tidak menjadi dalih untuk
tidak mempelajari Islam melalui berbagai disiplin ilmunya. Sampai kapan
pun, selaku penyeru Islam akan selalu saja ada amal dakwah yang memang
menyita tenaga, waktu dan pikiran. Lalu kapan akan belajar jika
alasan-alasan itu tetap saja diperdengarkan?
Bukankah Alquran berbahasa Arab? Demikian juga Sunah yang terekam dalam kitab-kitab hadis muktabar.
Apatah lagi dengan buah karya para ulama sejak zaman awal Islam hingga
masa ini. Hampir semua referensi utama tentang Islam termaktub dalam
bahasa Arab, baru sebagian kecil saja yang telah diterjemahkan.
Sedangkan karya terjemahan selalu saja tidak sepenuhnya menggambarkan
secara utuh sumber aslinya. Islam apa pula yang mau didakwahkan—aktivis
FSI menganggap diri mereka sebagai kader dakwah atau dai— jika sekiranya
kepahaman Islam yang diperoleh baru sebatas hasil terjemahan dari pihak
kesekian?
Anggaplah sudah mempelajari dan menguasai bahasa pengantar Islam
ini, lalu apakah Alquran dan Sunah sebagai dua sumber mata air Islam
dapat begitu saja dibaca, ditelaah dan diamalkan kandungannya? Tentu
saja tidak, enam disiplin ilmu lain tadi akan membimbing bagaimana
memahami Islam dengan benar. Agar terhindar dari kedangkalan pemikiran,
ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan, dan parahnya berujung pada
kesesatan dan menyesatkan.
Terutamanya untuk kalangan intelektual—mahasiswa, lebih-lebih lagi
bagi yang mengaku mengemban amanah dakwah, menjadi pertanyaan mendasar
tentang bidang keilmuan lain yang dipelajari dengan detil, melakukan
riset ini dan itu, bahkan hingga meraih gelar tertinggi dalam bidang
ilmu tersebut, mengapa tidak melakukan hal yang sama—seharusnya
lebih—dalam mempelajari agama mulia ini? Apakah merasa cukup dengan
pengetahuan agama yang diperoleh dulunya pada jenjang pendidikan
dasar? Kemudian ditambah secuil materi selama perkuliahan di
universitas? Atau cukuplah taklid saja pada keterangan para ustad?
Apapun pembinaan Islam yang dijalani, terlepas itu FSI atau bukan, ada tiga hal yang menjadi sorotan utama; Pertama, apakah para terbina dibekali dengan keilmuan Islam—bukan isu keislaman? Kedua, adakah wadah pembinaan itu mempunyai program-program yang jelas dalam pengajaran ilmu keislaman tadi? Ketiga, sudahkah para pembinanya adalah orang-orang yang menguasai dan memahami keilmuan Islam tersebut?
Bisa saja para terbina akan dibekali dengan keilmuan Islam, tetapi
wadah itu tidak mempunyai program yang jelas untuk mewujudkannya. Boleh
jadi para pembinanya adalah mereka yang berpengetahuan, namun tak
sedikit pun menggesa yang terbina agar berpengetahuan juga. Tanpa
disadari mereka ini menikmati singgasana ketahuan di atas kebodohan
pengikutnya.
Jika nuansa keilmuan islam telah benar-benar hidup dan semarak, maka
kemajuan merupakan suatu kenicayaan. Islam tak lagi dikenali dari
simbol-simbolnya saja, tetapi lebih pada keharmonisan pemahaman yang
benar beserta cerimanan akhlak qur’ani. Tentu lebih dahulu
dimulai dari para penggiat itu sendiri yang menyerukan pembaharuan
peradaban dengan nilai luhur Islam. Diharapkan pemimpin-pemimpin
harapan masa datang lahir dari rahim organisasi ini.
Walaupun memang, kekeliruan-kekeliruan pasti saja akan tetap
terperbuat dalam perjalanan mencapai tujuan, namun mampu dihindarkan
dengan segera karena kawalan ilmu. Penumpang-penumpang gelap dapat
disisihkan. Pun dengan para penunggang yang menyabotase arah dan laju
organisasi ini. Pengalaman dari dari kesalahan-kesalahan ini menjadi
pelajaran berharga dan eksperimen aplikatif sebagai penyempurna bekal
ilmu yang dalam banyak hal terkesan berkutat pada tataran teoritis
belaka.
Sesungguhnya kebaikan itu hanyalah ada dalam agama Islam. Menjadi
pilihan tanpa tawaran lain untuk memahaminya dengan benar. Belajar
merupakan cara utama ke arah sana, karena ilmu adalah dengan belajar, al ‘ilm bi at-ta’allum.
Nabi bersabda, “Sesiapa yang Allah menghendaki padanya kebaikan,
maka Dia akan mejadikannya paham tentang agama. Umar mengatakan,
“Pelajarilah ilmu (agama) itu sebelum kalian menjadi diangkat menjadi
pemimpin. Sungguh para sahabat Nabi tetap menuntut ilmu walau mereka
sudah berusia lanjut.”