Disarikan dari Buku “Catatan Masa Lalu Banten”, Drs Halwani Michrob, MSc, Drs A. Mudjahid Chudori, Penerbit Saudara, Serang 1993
130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang.
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan Sumatera
165
M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina
dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera,
Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke
Daratan Cina.
Abad 5 M
Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi
ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang.
Prasasti
berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang
berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan
Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada
saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
Abad
XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran
didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi
seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad
XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun
(Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat
pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan
pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai
jalur darat.
1513 M Tome
Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan
pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan
perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan
pengekspor beras, bahan makanan dan lada.
Pada
masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah
Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21
M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan
disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk
kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk
menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis
memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan
peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama yang
beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi,
Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya
ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan
ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin
pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian
barat pulau Jawa.
1521 M
Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur,
timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu
selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah
pantai.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan :
• Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
•
Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di
Malaka, agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak,
dengan mengutus putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa
ke Malaka.
1522 M 21
Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani
perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri
Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
• Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
• Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
• Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
• Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Portugis.
1525
M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran
Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di
bawah pimpinan Hassanudin dapat menguasai Banten.
Untuk
menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat
menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526
M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke
dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan.
Berdasarkan beberapa data, pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal
1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527
M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap
telah meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini,
Demak, Banten, dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda
Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk
menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa
diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan.
Armada
Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian tahun
1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai
pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan
perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan
hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda
Kelapa.
Setelah Jayakarta
berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah
bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin
bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan
kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani
keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar
dengan pesat dan keamanan negara terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat
memerintah atas nama Sultan Demak.
1552
M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status
Banten ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk
sebagai raja pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah
(menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon,
mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja Cirebon,
Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk
menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus
Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Pada
masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat
pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak
di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama
Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati
sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota
Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan
bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan
meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan
ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana
raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan
datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai
tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun
dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan
Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih
menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping
memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya,
Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan
utama dan penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan
kerajaan kerajaan di Nusantara.
Cara
jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah
mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan
adalah Real Banten dan cash cina (caxa).
Terjadinya
krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M,
mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak
dan menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah
Kesultanan Banten telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung,
Inderapura, sampai Solebar.
Sultan
Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung.
Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking.
Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten
ke 2.
1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada
masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik
beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan
pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten
merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia yang
nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara.
Dengan
majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan
menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan
penduduk pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan
penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah
penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar
tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim dari
kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu, Pecinan
yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat
Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini
selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk
kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan
kota.
Selain penataan
pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok keliling kota
dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat dengan
lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan
bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal
Mongolia.
Untuk kepentingan
irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang
dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan
khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar
danau. Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah diendapkan di
Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih dialirkan
ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan
ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi
keluarga keraton.
Sultan
Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede
dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran
Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti,
diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia
9 tahun.
1579 M Pasukan
Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan,
ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan
Pajajaran.
Raja terakhir
yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya
Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari,
karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung
Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan
Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
Setelah
berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran diislamkan dan
dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin
stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan
Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan
kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang
mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui
bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa
orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar
kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten
melalui banyak sungai.
Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana
Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan
penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan
membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib
dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa
kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan
keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan
disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan
Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke
Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan
dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak
ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan
Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid
Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda
ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu
Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan
Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda
pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang
lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya.
Masa
awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa
pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam
keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta
keinginan untuk merebut tahta kerajaan.
Pada
saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian
dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri
yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai
Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak
menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan
keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri
semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk
mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan
pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak
dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya
perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di
tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan
oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas
usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara
semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala
sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten
menjadi aman kembali.
Pangeran
Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan
Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama
yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan
menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan
sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian,
Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam
amupun luar negeri.
Mangkubumi
dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak
manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
• Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
• Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak
•
Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal
ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena
perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan
pemerintahan dan dalam negeri Banten.
Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN SEJARAH: sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis, penerbit LP3ES.
Melihat
namanya ia rupanya seorang bangsawan, tetapi biarlah kebangsawanan ini
sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang penting ialah Jonkheer Jan de
Rovere van Breugel adalah seorang pejabat VOC di Banten. Pada tahun
1788, ia terpaksa meninggalkan jabatannya pada maskapai dagang Belanda
yang semakin lama semakin berfungsi sebagai sebuah “negara” itu.
Peristiwa ini pun tak pula penting. Pulang kampung dan meletakkan
jabatan bukanlah pula hal yang harus dibesar-besarkan. Akan tetapi, yang
menarik ialah ternyata setahun sebelum ia “pulang negeri”, raden mas
Belanda ini sempat menyelesaikan dua memorandum panjang, yang
masing-masing berjudul Berschijving van Banten en de Lampong (Uraian
tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen van den staat van Bantam
(Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun 1857 – hampir enam
dasawarsa kemudian – ringkasan dari kedua memorandum panjang ini
diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde
(biasa dipendekkan dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang
sampai sekarang masih terbit bahkan telah semakin bersifat
internasional.
Pada
pengantar dari memorandum yang telah diperpendek itu, redaksi majalah
mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap dari sang bangsawan lokal ini
akan diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap- sebuah organisasi
keilmuan yang tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia Belanda ini.
Akan tetapi, rencana penerbitan ini dibatalkan karena Gubernur Jenderal
Alting menasehati sang pengarang agar mau mengurungkan niatnya. Soalnya
kedua naskah memorandum itu-entah sengaja, entah tidak, tetapi lebih
mungkin karena keasyikan berkisah saja-ternyata banyak juga membicarakan
hal-hal yang mestinya tidak boleh diketahui umum. Jadi rahasia dari
masa-masa akhir hidup VOC termuat juga dalam naskah ini. Coba saja pikir
pejabat yang bergelar Jonkheer ini antara lain mengusulkan agar VOC
menurunkan tingkat administratif Banten hingga dengan begini jumlah
tentara yang diperlukan cukup 185 orang saja, tidak lagi 372 orang.
Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi – dan ini rupanya
penting juga – “kemiskinan sang raja telah meniadakan kemungkinannya
untuk melakukan apapun”. Maka dengan pengurangan biaya ini kerugian
finansial VOC bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga diketahui bahwa
salah satu sebab utama VOC dilebur dan daerah-daerah di Kepulauan
Indonesia yang telah berada di bawah dominasi VOC dijadikan sebagai
bagian dari sebuah negara kolonial yang disebut Hindia Belanda ialah
karena VOC telah mengalami kebangkrutan?
Tentu
sekarang kita bisa berkata bahwa kalau dihitung-hitung umur VOC lebih
panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat hidup sampai dua abad kurang
dua tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia Belanda hanya 142 tahun
saja. Kalaupun ingin berpikir secara legalistik yang kaku paling-paling
hanya bisa ditambah empat tahun tambah beberapa bulan – sejak
menyerahnya Jepang hingga “penyerahan kedaulatan”. Akan tetapi, yang
akan mau mengakui cara berpikir legalistik konyol ini, siapa lagi selain
kaum konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat awam
masih menyebut pemerintah kolonial Belanda “kompeni”, meskipun Hindia
Belanda telah berkuasa.
Namun
demikian, sudahlah, yang jelas kedua naskah memorandum yang telah
diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah Hindia Belanda telah asyik
dengan politik “tanam paksa” atau cultuurstelsel di Pulau Jawa. Politik
ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan
menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta
merta mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini
keadaannya nilai aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena
itulah barangkali ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian.
Apalagi
pada waktu diterbitkan, Banten telah pula sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan dijalankan berdasarkan
memorandum itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah ketika Ann Kumar,
sejarawan Australia yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan Jawa dan
Belanda (Java and Modern Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan
tulisan dari van Breugel ini sebagai bahan kajiannya. Ia pun “berbaik
hati” juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar naskah sang Jonkheer, tetapi
kali ini dalam bahasa Inggris.
Dengan
membaca “ikhtisar dari ikhtisar” ini kita mengetahui juga dasar
keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua memorandumnya dan bisa
pula memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan ikhtisarnya
sekian puluh tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang berharap
agar memorandumnya ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial
yang dijalankan. Akan tetapi, sayang juga ketika akhirnya diterbitkan
tulisannya hanya bermanfaat sebagai salah satu sumber sejarah saja.
Soalnya
ia sebenarnya melihat masa depan yang cerah juga bagi Banten, jika saja
usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, tetapi sudahlah,
yang jelas tulisan Jonkheer de Rovere van Breugel boleh dikatakan
bercorak ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara tentang wilayah dan
kota, pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat, hasil bumi dan
perdagangan serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat menaruh
perhatian pada sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi
ternyata hampir tidak ada aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik
yang tidak dibicarakannya. Dalam tulisannya tampak pula bahwa ia adalah
seorang pengamat situasi sosial yang cukup jeli juga.
la
mungkin tak bisa menerangkan mengapa “itu harus begitu” dan “mengapa
ini harus begini”, sebagaimana yang mungkin bisa dilakukan oleh ahli
anthropologi modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang apa saja
yang kebetulan dilihat dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van Breugel
membayangkan juga suatu saat Banten akan bisa bangkit lagi jika saja
VOC menjalankan kebijakan yang baik. Hanya saja, tentu bisa juga
dimaklumi kalau dalam melihat dan mengamati masyarakat Banten ia tak
bisa melepaskan landasan penilaian yang bercorak Belanda.
Maka,
janganlah kaget kalau ia mengatakan bahwa menurut pengamatannya
laki-laki Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka membiarkan saja para
isteri mereka bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih sibuk
minum-minum – tentu saja bukan air – makan-makan sirih dan
menunggang-nunggang kuda. Bahkan, kalau saja pengamatannya tidak terlalu
bias, laki-laki Banten itu, katanya lagi, membiarkan saja perdagangan
dikuasai para pendatang yang disebut “Orang dagang” . Anak-anak umur
delapan atau sepuluh telah dipertunangkan, meskipun mereka masih tinggal
di rumah orang tua. Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi
akibatnya orangtua anak perempuan akan kehilangan pembayaran yang telah
mereka lakukan.
Pesta
perkawinan diadakan di rumah penganten perempuan, sedangkan tamu-tamu
datang dengan membawa hadiah, biasanya buah-buahan. Sang pejabat yang
bangsawan ini rupanya pernah juga beberapa kali menghadiri upacara
pernikahan orang Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak panjang lebar
tentang situasi dari upacara perkawinan itu, Tentang agama, ia
mengatakan bahwa orang Banten itu beragama Islam tetapi orang Lampung
menganut kepercayaan yang merupakan percampuran “ajaran Muhammad” dengan
sistem kepercayaan yang masih kafir, dan digabung lagi “dengan takhyul
yang paling bodoh”.
Orang
Banten mempunyai hukum juga, tetapi, kata van Breugel, pada umumnya
mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja — darah dibayar dengan
darah, pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan yang
kadang-kadang bisa sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau
saja interpretasi sosial boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka
bisalah dikatakan bahwa masyarakat Banten, yang disaksikan van Breugel,
sedang berada dalam situasi kemelut yang parah juga.
Bagian
yang terpenting dari memorandum ini ialah uraian tentang komoditi
perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi, ndigo, gula, pinang,
kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la menguraikan satu
persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat tumbuh dan
cara pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga
bercerita tentang perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan
berkisah pula tentang betapa maraknya penyelundupan barang haram ini.
Cerita yang mengasyikkan juga ialah tentang bajak laut. Orang Mandar,
katanya, adalah yang paling aktif dalam penyelundupan, artinya mereka
sering berhasil mengelakkan monopoli VOC. Tentang usaha pemberantasan
perompakan ia mengusulkan agar kekuatan armada Banten diperkuat,
umpamanya dengan memberi bantuan mesiu.
Akan
tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota Banten? Kalau tentang desa ia
mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak beraturan, sedangkan
tentang ibu kota, ia melukiskan tentang dinding-dinding yang dulu pernah
mengitari ibu kota sekarang telah hancur lebur berantakan. Perbentengan
telah hancur dan di atas runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan karena
jumlahnya cukup banyak inilah Banten, katanya, “masih bisa disebut
kota”. Rumah-rumah umumnya terbuat dari bambu, hanya sebagian kecil saja
memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat negara, seperti menteri
dan “pendeta” (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan beberapa orang
lain mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung yang
dipenuhi oleh rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng
berbentuk setengah bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk
pertahanan istana yang dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa.
Di sekeliling benteng itu ada perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten,
yaitu Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah pasar baru. Akan tetapi, semua
pasar itu mengalami kemunduran , tidak lagi seperti dulu ketika Banten
masih megah.
Raja yang
memerintah pada waktu itu ialah Sultan Abul Nazar Muhammad, yang menurut
van Breugel, sangat dipengaruhi oleh “paus-paus orang asing” (maksudnya
tentu saja ulama-ulama dari negeri lain). Mereka semakin berpengaruh
saja di kalangan masyarakat Banten, bukan saja di kalangan kraton.
Ketika menyebut “paus” ini van Breugel sama saja dengan para penulis
Belanda lain. Kata “paus” adalah sebutan ejekan bagi ulama. (Belanda
abad ke-18 sangat anti-Katholik rupanya). Van Breugel jengkel juga
karena ia melihat sang Sultan tidak menaruh hormat lagi pada VOC.
Bukan
itu saja, menurut pengamatannya, Sultan asyik dengan segala macam
kemewahan, padahal kesultanan telah jatuh miskin. Akibatnya, tentu bisa
diduga, Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya Sultan ini
seorang yang baik hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat
yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan,
yang malah sibuk menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang
Eropa.
Pada
umumnya para bangsawan ini sudah cukup puas dengan tempat tinggal yang
menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita
cantik. Pengawas gudang lada sang raja ialah seorang yang bernama Kiai
Aria Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah
disunat (maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan sebagai
kepala gudang ini dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman
raja, Pangeran Raja Kusuma, kata van Breugel, adalah seorang yang alim,
tetapi ia tampaknya agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya
menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya
yang hari demi hari dilanda kemerosotan.
Ketika
Van Breugel menulis tentang Pangeran Raja Kusuma ini ia mungkin merasa
simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa artinya hidup ketika kejayaan
lama hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan sang pangeran tua ini
tentang kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang Pangeran yang
hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung masa
ketika Banten adalah kerajaan yang makmur dan disegani dan merupakan
salah satu kerajaan yang terkuat di Kepulauan Nusantara ini, tetapi
pengetahuan akan masa gemilang yang telah hilang itu tak begitu saja
terpupus dalam ingatan kolektif Banten. Bahkan asal usul berdirinya
kerajaan pun masih segar dalam ingatan kolektif anak negeri.
Bilamana
situasi kesekarangan telah dirasakan semakin mencekam bagaimanakah
ingatan akan masa lalu yang telah lewat itu akan hilang begitu saja?
Bukankah nostalgia kultural itu sesungguhnya tidak lain daripada
perlawanan terhadap tirani sang waktu? Dengan bernostagia, perjalanan
waktu dijadikan tak berfungsi dalam kesadaran. Ketika perasaan kerinduan
ini telah semakin mencekam, karena situasi kesekarangan telah
sedemikian menista harga diri, maka masa lalu tiba-tiba bisa saja
berubah menjadi “masa depan” yang harus dirangkul dengan segera.
Janganlah
pula heran bilamana kepedihan masa kini telah semakin keras dirasakan,
maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan sebagai “masa depan” itu
semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah begini, maka
“terjadilah apa yang harus terjadi”. Kita pun berhadapan dengan salah
satu irama yang hampir menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan
kerajaan telah terlepas dari tangan.
Asal-usul
Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak
bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah kekuasaan lokal, tetapi
muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari luar. Dalam usaha
untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan Gunung Jati,
ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga, mendirikan
Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan
Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama.
Ketika kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung
Barat Pulau Jawa (1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran
Adipati Hasanuddin pun menjadi Sultan Hasanuddin.
Ternyata
ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat tepat. Awal abad ke-16
adalah masa yang kritis bagi perairan Asia Tenggara. Pada tahun 1511,
Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang ingin melumpuhkan Mekah
dan Constatinopel – dua pusat kekuasaan dan agama Islam, berhasil
menaklukkan Malaka. la memperhitungkan bahwa dengan jatuhnya Malaka,
maka berarti leher dari kedua pusat Islam itu telah bisa dicekik
Portugis. Malaka adalah salah satu pusat perdagangan yang besar dunia
pada abad ke-15, tetapi panglima Portugis, yang didorong oleh keuntungan
dagang dan kekuasaan agama ini, sama sekali tidak menduga bahwa
kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi sasaran
penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia, tetapi juga
menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat perdagangan Islam.
Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan Johor,
penerus dinasti Malaka, serta
Aceh-Darussalam,
sibuk berkali-kali menyerang Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota
dagang baru pun bermunculan pula. Pada waktunya sebagian dari
kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam yang
baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah
Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan
tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar. Sementara itu di
pedalaman Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai pemegang hegemoni di
“negara-negara kota” di pantai Utara. Sejak akhir abad ke-16 dan akhir
abad ke-17 boleh dikatakan sebagai the age of Islamic hegemony dalam
sejarah Asia Tenggara.
Karena
itulah Schrieke, seorang ahli filologi Islam, sosiologi dan sejarah
Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja pada kantor Penasehat
Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam di Kepulauan
Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya sebagai
“race with Christianity” (perlombaan dengan Kristen). Soalnya ialah
setelah Vasco da Gama mendarat di Calicut, India (1498), apalagi setelah
Portugis berhasil menaklukkan Malaka maka “jalan ke Timur” untuk
mencari rempah-rempah dan menyebarkan agama, telah terbuka pula bagi
para pelaut, pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa. Perairan
Nusantara pun menjadi ranah persaingan dari segala bangsa, baik yang
datang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, kemudian datang Belanda,
Inggris, bahkan juga Denmark, apalagi Asia, yang memang telah
berdatangan sejak awal abad Masehi.
Tradisi
sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia
ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke Palembang,
tetapi dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang (atau
historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya bisa
dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten. Dan
sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar di
Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang
menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor barang
impor- hanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran kebesaran
enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada perkiraan jumlah
penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing.
Tentang
Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun
1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah
perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari
100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan
lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk
800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah
turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak
akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa
Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya
perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa
jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad
ke-16 – abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang
drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun
1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu
sejarah Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya
menjadi residentie Banten.
Salah
satu laporan yang menarik dibuat oleh orang Belanda, Lodewijk, yang
datang ke Banten pada tahun 1596 bersama komandannya, Cornelis de
Houtman. Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat internasional
entrepot Banten. Antara lain ia bercerita tentang “pembagian kerja” dari
anggota komunitas asing yang berada di Banten. Orang Persia, menurut
laporannya, berdagang permata dan obat-obatan. Orang Arab dan Pegu
melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa barang dari satu tempat ke
tempat lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang perantara.Lodewijk
tentu saja tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu, tetapi
peranan Arab sebagai pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah
dimulai sejak abad ke-11 ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang
asing. Ini pulalah salah satu sebab dari awal terjadinya Islamisasi di
kawasan ini. Kalau cerita Lodewijk diteruskan, maka ia pun mengatakan
bahwa orang Keling lebih suka mengadakan investasi dengan bunga. Atau
kalau dengan istilah yang biasa dipakai sebagai cheti, yang dengan kata
lain, tentu bisa disebut rentenir.
Ternyata
orang Melayu, menurut Lodewijk, mempunyai hobby yang sama pula. jika
laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun bisa juga mengatakan bahwa
ajaran Islam tentang riba tidak masuk perhitungan para pedagang Melayu
itu. Jadi, sama saja dengan “konglomerat Melayu” sekuler zaman sekarang —
pokoknya keuntungan masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada umumnya
adalah pelaut dan, tentu bisa diduga, miskin-miskin. Lodewijk juga
bercerita tentang pedagang besar yang bernama Cheti Maluku yang
berhubungan dagang dengan orang Belanda dan Inggris; tentang Kojah
Rayoan, seorang pedagang Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota
pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga orang asing. la orang dari Keling.
Ketika ia sampai di Banten, kata Lodewijk, “ia tak punya apa-apa, maka
ia pun menjalankan semua kerja yang hina untuk menghidupi dirinya.”
Dengan kata lain, Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah “a
land of opportunities”– negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk akal
juga kalau Cornellis de Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat
di Banten dan kemudian menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya.
Tak
lama kemudian Inggris, yang praktis merupakan pengimport tunggal
tekstil dari anak benua India, juga menjadikan Banten sebagai pusat
aktivitasnya di Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah biasa saja –
orang berdagang tentu mencari pusat kegiatannya – tetapi sialnya dalam
sejarah Indonesia yang diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang
merdeka, tahun kedatangan Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan
sebagai masa awal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Maka, kita pun
ikut larut dalam pandangan sejarah yang bodoh dan sesat ini dengan
mengatakan bahwa “Indonesia 350 tahun berada di bawah kolonialisme
Belanda.”
amun,
biarlah hal ini tak dilanjutkan, maklum para pejabat itu tidak bisa
membedakan mana yang mitos dan mana yang sejarah. Maka, kalau cerita
dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali juga orang membandingkan
Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan itu ialah
kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan. Aceh
mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad
ke-17 (Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, jangan-jangan
sultanah yang berada di belakang tirai ketika menerima perutusan
Inggris, seorang laki-laki yang menyamar. la adalah sultanah yang
terakhir).
Hanya
saja dalam perbandingan ini sering terlupakan bahwa tumbuhnya Banten
sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi ketika Sultan Abdul Kadir
(1596-1618) masih harus berada di bawah pewalian, karena belum dewasa.
Selama lima tahun yang kritis (1600-1605) yang tampil sebagai tokoh
utama ialah Nyai Gede Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott)
menyatakan kekagumannya ketika ia berkata bahwa “perempuan tua ini
menguasai para wali dan lain-lain,.. walaupun ia bukan berdarah kraton,
tetapi karena kearifannya sangat dihargai oleh semua (yang berkuasa) ia
memerintah seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri ini.” Maka
begitulah kalau aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas,
pemerintahan bisa dijalankan berdasarkan kearifan yang paling unggul.
Kalau
De Breugel, yang menulis memorandum pada tahun 1787, sempat mengatakan
bahwa orang Banten meskipun punya hukum tetapi lebih suka memakai hukum
alam, tidak demikian halnya pada abad ke-17. Seorang pendeta dari
Missions Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan bahwa Banten,
“mempunyai dua hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar, yang tahu
semua masalah perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria
(Shari’ah), yang mempunyai jurisdiksi pada semua masalah perdata dan
pidana, yang menghukum dengan berat kejahatan pencurian dan perzinaan.”
De
Breugel menggambarkan suasana kemunduran dan kemelut. Ketika itu kraton
Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau berada di bawah
suzereniteit maskapai – yang-bermain sebagai-negara ini dan harus pula
membayar utang kepada VOC, karma telah membantunya menghadapi
pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750-52). Nada dari uraiannya
hampir sama dengan gambaran para pelapor lain tentang kerajaan-kerajaan
Nusantara yang sedang mengalami kemunduran.
Bedanya
hanyalah pada detail-detail sejarah – nama tempat, nama orang dan
bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang telah mengalami krisis
di abad ke-18 – umumnya berada di pulau Jawa – tetapi ada pula yang bare
mengalaminya pada abad ke-19 – umumnya di kerajaan-kerajaan di daerah
lain (kecuali Maluku). Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin Abdul
Kadir Munsyi, yang dikirim Inggris, yang telah mendirikan dan menguasai
Singapura, untuk meninjau kerajaan-kerajaan di pantai Timur Tanah
Semenanjung, memperlihatkan suasana yang lama, meskipun yang dikisahkan
berbeda-beda. Suasana kemelut menjelang kejatuhan selalu membayangkan
otoritas kekuasaan yang lemah, masyarakat yang tak peduli, hukum yang
kehilangan peran, ekonomi yang kehilangan gairah, serta keamanan yang
tak terjamin.
Sedangkan
laporan-laporan asing tentang Banten abad ke-16 dan abad ke-17 juga tak
pula jauh bedanya dengan laporan tentang kerajaan maritim lain yang
sedang berkembang. Kisahnya tentu saja berbeda-beda, tetapi suasana
sosial-politik dan ekonomi memantulkan gambaran yang tak jauh berbeda.
Jika saja nama-nama orang diganti dan nama-nama tempat ditukar pula maka
uraian tentang Banten rasanya bisa saja dijadikan tentang Makassar dari
abad yang sama. Bahkan juga bisa ditukarkan dengan Riau-Johor abad
ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab Tufhat an Nafis, yang ditulis
Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau Penyengat, sebuah pulau
kecil dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan.
Ciri-ciri
umum ialah persaingan dagang internasional yang meriah, sistem hukum
berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang, dan
aktivitas keagamaan menjadi pertanda dari kearifan Sultan. Tidak kurang
pentingnya ialah suasana ini bukan saja mengundang kedatangan para
pedagang dari segala penjuru dunia, tetapi juga para ulama. Dalam hal
ini, baik sumber asing maupun sumber lokal, yang disebut historiografi
tradisional itu, memberikan kesan yang tidak jauh berbeda. Jadi masuk
akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan pendekatan sosiologi Max
Weber untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di kepulauan Indonesia
atas dua kategori, yaitu maritim dan agraris. Banten, Makassar, Aceh dan
lain-lain memperlihatkan ciri-ciri yang khas maritim.
Dengan
pendekatan ideal type — membuat bentukan analisis berdasarkan sifat
kategori yang paling ekstrim- maka negara maritim berarti kegiatan
dagang, kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar. Sedangkan Mataram
bersifat agraris — keterikatan pada tanah, pertanian, sikap kultural
yang konservatif, dan cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward
looking). Konon Sultan Mataram pernah mengatakan pada utusan Belanda
yang datang menghadap di kratonnya, “Tuan-tuan boleh berdagang di negeri
saya tanpa bayar pajak, sebab saya bukan pedagang seperti penguasa
Banten dan Surabaya, yang harus merasa takut dengan persaingan tuan.”
Penguasa maritim sejauh mungkin ingin mendapatkan keuntungan dari
perdagangan laut, bahkan kalau perlu — bahkan biasa sekali-mereka pun
ikut berdagang. Mataram tentu lebih suka mendapatkan upeti dari para
bangsawan yang telah mendapat lungguh serta menyibukkan diri dengan
penghalusan kebudayaan dan sistem status sosial.
Dengan
segala ciri-ciri kerajaan maritim yang diperlihatkan Banten, tentu mudah
juga dipahami kalau di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari Makassar, Syekh Jusuf
al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten, tetapi bisa
merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana
inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia
mengirimkan utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh
anaknya naik haji sambil mengunjungi Turki.
Tetapi
di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya yang
agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah sistem
yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak dari
pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli. Maka
perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi
persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami
suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk
menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah.
Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng
bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji.
Sejak
itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan”
saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya
serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun
meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan
pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada
kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah
Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi
Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah,
tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara
berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya
resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda — kesultanan
telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah
daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten
mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari “lahir dan
tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat
dagang, melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi,
akhirnya kolonialisme.
Jika
diartikan secara harfiah ungkapan Prancis l’histoire se repete, sejarah
berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau sejarah
diartikan sebagai salinan yang murni dari “apa, siapa, di mana, dan
bila”, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan
ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan
hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang
“khusus” dan “umum”. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan
bahwa “Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi
kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila),”
sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah kecenderungan bahwa “raja
adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda”.
Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau
abad yang berbeda-beda.
Meskipun
dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan dalam
corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang terjadi pada
struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat Belanda. Pada
gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara sebuah bangsa
yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk melihat sejarahnya.
Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang
mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama ini berkisah
tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng yang durhaka. Dan
kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli, Max Havelaay,
yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan pejabat
yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah hubungan internasional yang
bercorak subordinatif dan eksploitatif mempunyai akibat sosial yang
penting.
Di satu pihak,
kolonialisme mempunyai kemungkinan untuk menciptakan mental dependensi
(terhadap orang asing) dan kesadaran hirarki sosial yang hegemonik
(terhadap sesama anak negeri). Akan tetapi, di pihak lain, sifat
eksploitatif dari kolonialisme kemudian bisa juga menjadi landasan dari
terwujudnya rasa kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat translokal.
Nasionalisme yang kolonial pun tumbuh juga. Di samping mempunyai
pengaruh terhadap sejarah pergerakan kebangsaan, Banten mempunyai tempat
khusus juga dalam perkembangan historiografi Indonesia. Ketika Sartono
Kartodirdjo (sekarang Prof Dr) menyampaikan disertasinya tentang
pemberontakan Cilegon 1888 di Universitas Amsterdam (1966) maka lembaran
baru sejarah penulisan sejarah Indonesia pun dibuka. Dengan buku untuk
pertama kali seorang sejarawan Indonesia tampil ke depan dengan
menyoroti sebuah “peristiwa kecil”, dengan aktor-aktor “orang kecil”,
ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang bercorak
multidimensional.
Maka
dengan begini sebuah alternatif dalam penulisan sejarah diperkenalkan.
Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang besar kini telah
didampingi oleh studi yang semakin mendekati pada denyut sejarah
sesungguhnya-manusia dengan segala keresahan dan harapannya pada tingkat
yang paling intim, yaitu desa.
Pemberontakan
Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah
kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan beberapa hal yang
fundamental, yaitu semangat independen, “nasionalisme lokal” yang
kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah
mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat
kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin
tampil sebagai pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang
berkepanjangan ini ketika “hukum alam” (sebagai kata van Breugel) lebih
penting dari ketentuan hukum yang berlaku golongan baru pun semakin
menampakkan dirinya. Mereka adalah para jawara, pendekar yang selalu
siap membela untuk sesuatu yang dianggap benar. Sejak kejatuhan
kesultanan hampir tidak ada lagi satu peristiwa di Banten yang bukan
dimotori oleh ulama dan jawara. Maka bisalah dimaklumi kalau Aceh
kadang-kadang disebut sebagai negeri “uleebalang dan ulama”, Banten pun
dikenal pula sebagai negeri ” ulama dan jawara “.
Sejak
resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan
Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan
Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerah-sampingan saja.
Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat,
seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan
buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia Islam, tetapi pada umumnya
tidak lagi berperan apa-apa yang penting. Pemberontakan “komunis” 1926 —
seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang (Sumatera Barat) —
memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika sejarah secara
keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka. Maka
mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah
menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk
mewujudkan kembali “janji sejarah” yang sekian lama seakan-akan
terpendam?
GEGER CILEGON
Sumber data : buku Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984
Perlawanan
bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah
peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888
yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang
diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu
menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui
pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik
perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain
dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan
Haji Wasid.
Haji Abdul
Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan
sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya.
Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia
kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di
Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh
terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang
serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar
pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal
pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam
mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid,
Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil
terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika
Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal
13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah
yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara,
Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan
yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah
kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung
menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan
pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang
juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu
disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji,
Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari
Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji
Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara
yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya
bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti
Tangerang, Bogor dan Batavia.
Pra Peristiwa Geger Cilegon
Tokoh
menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang
pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar
di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang
disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan
harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan
seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad
Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan
pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga
pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim
yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi
segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan
segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada
manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan
yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa
besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada
benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam
pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di
Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar
(pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun,
sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit
didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan
merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan"
menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk
desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit
penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.
Untuk
menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat,
menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan
bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk
menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan
ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan
nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya
tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana
Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20
orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA.
Djajadinigrat, 1936:8).
Karena
musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang
menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular
dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya
membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu
desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular
ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun
turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya
dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak
membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat
tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang
membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun
mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena
banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat
ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi
bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus
1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di
antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo,
1988:88).
Pemandangan di
desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak
dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu
tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali.
Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a. Kesedihan
yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di
Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut
setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer,
Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita.
Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang.
Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah
yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya
membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga
dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan
sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun
suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara
itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru,
sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja
pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu,
pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah
penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung
rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f.
125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh
negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar
jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk
turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang
dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian,
pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa
yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut
menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam
keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka
yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan
benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah.
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar
yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala
bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen
bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan
penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk
syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama,
fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak
dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha
mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu
pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan
pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan
melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka,
1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa
keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu
hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya
menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten
Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk
mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat"
kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen
menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya
supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras,
karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem
ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda
ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan
menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Jalannya pemberontakan
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
4
Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki
di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang;
yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka
masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di
rumah H. Iskak di Saneja.
Maret
April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah
H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara,
akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
23
Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H.
Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan
tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian
tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain
pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri
tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan
kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan
pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9
Juli 1888.
Koinsidensi
sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni
berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati
Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat,
(2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan
Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya
desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di
kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke
pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus
larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan
dan khitanan.
Pada hari
Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk
persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang
Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji
Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari
Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji
Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen
(penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan
itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi
Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji
Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah
lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk
mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini
hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari
Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan
kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah
dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin
tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba
untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji
Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji
Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji
Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan
murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid di
luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari
Arjawinangun dan Gulacir yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara
Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim
dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir
pemberontakan.
Pada hari
itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke
Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui
Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui
Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui
Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik.
Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang
dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada
siap di Cilegon.
Sementara
itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi
ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8
Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan
yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di
rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid
mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih
pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan
bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung
oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan sebagai
pusat penyerangan.
Malam
itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya
dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk
menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam
tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus
Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari
arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid,
Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman
dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat
takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam
beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro
Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok
kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari
Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai
Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten
Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di
Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo,
1984:301-303).
Dalam
keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor
Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga
Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels,
asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric
Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak
disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri
yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di
Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban,
adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA.
Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah
atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55),
sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut
rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu,
adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para pejuang
(peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan
kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang
menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara
ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi
tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ...
djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin
yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: ' ...
ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin
memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56)
Seperti
yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon
ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di
Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di
daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang
ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin
dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu,
Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat
diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak".
Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri
ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama
Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy
berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para
pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik,
sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai
pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum
buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris
dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji
Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan
banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon,
dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian
"Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan
nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya
semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan
menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya
pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat
bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian
seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat
kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya
sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk
pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik
yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan
akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak.
Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang
menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh
kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan
itu.
Banyaknya
pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga
kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di
samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa
kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan
keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam
kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama
pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan
perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada
orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi
Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC,
sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas
penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di
Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad
ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat
pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat
dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini
saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya
dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19
kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada
peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan
keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak
mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta.
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan
“politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen
mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit
melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah
kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah
menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan
mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan
akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap
sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial
dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang"
(Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa
Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan
penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi
pemerintahan Belanda.
Tetapi
dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran
agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat
Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga
orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan",
"kapir landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam
juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk
belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan
Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen.
Maka
tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa
bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau
sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan
bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon
dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir.
Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor
pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh
mereka sebagai "anjing belanda".
Keyakinan
yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk
asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun
membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat
pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah
Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja
ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal
dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering
menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang
pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja
asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan
yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai
asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar
dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca
kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan
orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan
mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam
hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.
Peran Kyai dan Jawara di Banten
Semenjak
pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan
dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak
pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan
daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak
dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama dan
bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang
Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang
Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam
menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal
bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam
hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam
daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang
terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten sudah
sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak
hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin
masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal,
terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa
ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai
dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru
spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang
khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih
dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah,
merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan
seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di
Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan
dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan
supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh
masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis
para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda
tajam.
Keunggulan dalam hal
fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik)
telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang
khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan
terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang
memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan
terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok,
untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti
halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba
ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki
padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki
jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya.
Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib
dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman
Rizal.
Asal-usul kata
“jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara
berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang
paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin
menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan
cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral
(berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian
orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang
berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di
desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah.
Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah
para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun
kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan
makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin,
apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut
Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah
murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan.
Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di
daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu
menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat
kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual,
mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan
murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada
persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara.
Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan
perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus
persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah
khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah
seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu
tentaranya kiyai).
Istilah
jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini
dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk
mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi
untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki
kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian
(kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul
dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang
lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci.
Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat
yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk
orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah
agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik
terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan
ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap
istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang
mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main
perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main
perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara
tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu
kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan
dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi
masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung
negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di
atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk
melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda,
mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu
jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas
kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh
Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia
bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun
prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam
beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati
masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh
agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai
orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga
dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural,
karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih
dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan
semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami
ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh
masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga
ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa
dilakukan oleh orang-orang biasa.
Tokoh
lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan
disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan
supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara
dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu
persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten,
kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan
dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu
kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu
kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak
memiliki keberanian.
Karena
kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang
sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat
Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di
masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya
bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya
tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara
tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau
jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena
keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki
kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan
mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya
kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan
dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap
kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah
kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi
soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di
tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh
mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang
terlalu besar.
Kiyai,
yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak
bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat.
Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda.
Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para
kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa
awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah
penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai.
Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran
para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban
masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan
masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang
mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan
dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan
pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad
Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas
gerombolannya.
Menurut
masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar”
dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari
ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama
Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun
pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian
dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang
berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Sedangkan
jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau
kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan
mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh
dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya,
sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci.
Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik,
terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai
dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang
dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari
lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi
pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki
pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan
oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu
pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan
kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot),
guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib)
dan sebagai mubaligh.
Peranan
seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi
arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu
ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu
menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang
tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi
masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih
cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat
Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi
jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau
magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan
tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam
kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para
jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat
Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para
jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan
zaman.
Begitu pula ketika
mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan
dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya
tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya
kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material)
dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap
berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau
dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di Banten
Sebelum
Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata
cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi
ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat
Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa
pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu.
Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada
sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan
oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal
dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh
putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan
ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten
adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai
peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di
daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang
sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu
kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya
dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan
sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk
diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan.
Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang
menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara
tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti
dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah
Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum
Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi
Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat
kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula
dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu
masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya,
serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan
masyarakat pada masa itu.
Selain
itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM
hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang,
dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes,
kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di
Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6)
Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal
dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk
Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari
perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan
Babakan Tanggerang.
Selain
bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data
sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara
ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak
disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang
bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang
berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah
kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan
Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada
awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun,
dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten
Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk
menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai
jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari.
(Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat
yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk
selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII,
kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan
karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran
Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M
dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan
bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten
untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan
oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati
Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak
perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya
lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah
Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke
Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya
dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin,
di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin
berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang
bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34)
Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam.
(Roesjan;1954:10)
Karena
semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten
Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin
sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat
pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di
Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton
Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu
Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan
Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari
pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten
juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar
daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa
perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini
berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung
Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi
Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.
(Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan
Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah
mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah
sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh
Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten
seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur
politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah
kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan
sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti;
Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten,
Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung
Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya.
Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme
dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti;
Belanda, Cina, dan Gujarat.
Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah
bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu
dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk –
bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang
menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu.
Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang
memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu,
baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.
Di
Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat
ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering
berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal
mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang
dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di
Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh
keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu
kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang
Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada
orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea
(douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane
itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw.
Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa
klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah
biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat
sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari
1300 kepala keluarga.
Kemudian
dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan
beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga
bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang
lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah
klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar
klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi
yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun
klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk
di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini
lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar
bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan
kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding
tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat
tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi
klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk
(Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena
dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal
Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan
rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama
seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi
bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi
sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan
dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak
berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung
klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita
tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina
pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak
perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan
melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai
bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang
rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu
Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6
buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten
sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang
Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan
kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata
uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122)
sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak
bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di
Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of
Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan
perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang
artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat
berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan
diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah
Mengamati
berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan
menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan
bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah
bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara
fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain
nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan
ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis
untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung
Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan
terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai
pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata
(krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data
arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon
Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda
ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan.
Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan
sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah,
Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur
islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan
Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara
kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut
mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia
yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub
sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada
bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya
kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang
bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan
penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita
sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia
cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya
operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230).
Sementara
itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman
manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs
arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara
ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka
Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan
gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan
strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 :
11-25-1122).
Melihat
rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah
memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu
menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia
dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini
menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya
masalah ini antara lain :
-
Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan
miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli
yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan
yang dibawa VOC.
- Monopoli
rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi,
disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran
rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi.
Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar
tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai
daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob,
Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena
sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua
kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda.
Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56).
Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang
menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte.
Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat
dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang
diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di
kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas
pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di
India.
Untuk
menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana
pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng,
pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus
segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana
dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja
paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.
Pekerjaan
pertama Deandles adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon.
Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten. untuk
mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang
direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya
berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga
banyak diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat
Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi
larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan sultan yang datang ke
Batavia, Daendels memerintahkan supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.
Sudah
tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena
permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi
dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh
Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan
ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah
utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana
Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun
karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda,
maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton
(Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya
Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis,
1881).
Serangan
yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan,
sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya.
prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha
mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat
meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing
berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan
ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum
pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung
dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan
Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah
Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan
gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar
sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada
biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan
tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real
setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan
pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang
mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa
rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan
ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles
melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian
rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran
informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan
jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama
merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada
tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada
pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon).
Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin,
menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga
(Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang
jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan).
Dari
Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur,
Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara
Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan
protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan
lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena
banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah
perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut
sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim
Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan
Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica,
terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya
Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels
sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai
Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas
mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering
terjadi.
Akhirnya
Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan
memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten
yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di
Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi
hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan
rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang
statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan
Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam
Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat
Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang
berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan
Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan
jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini
dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan
beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim
di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia
karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan
jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh
1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya
surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai
jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak
dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah
fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini
sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada
tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute
Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun
kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah
terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat
menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan
Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan
Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal
tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras
menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan
jalan apapun alasannya.
Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa
Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini.
Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang
tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi
dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti
naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat
(folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan
oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam
pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada
karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten
sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara
geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten,
meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya
Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten
Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang
ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15
M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan
dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M).
Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal
abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian
Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang
dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi
lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang",
prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari
yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires
(1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting
Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading),
"Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk).
Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah
politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat
dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas,
yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir
utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang
berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah
selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai
dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan
berbatasan dengan Samudera India.
Tidak
banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa
ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit
dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang
menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan
juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri
pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota
Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua
pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai
Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari
beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi
awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10
Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan
dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten
Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan
posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai
Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan
strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam
di permulaan abad ke 16.
Penelitian
yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program
Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan
sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak
bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan
Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan
ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12
Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang
penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan
dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik,
pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang
logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan
internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan
beberapa kawasan di India.
Secara
nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian
dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten
sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada
saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat
dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten
dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum
Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah
menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan
dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang
banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat
berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah
berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun
Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut.
Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa
dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa
dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda.
Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin
berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki
peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi
ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun
atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah
berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa
Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti
Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar
Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi
Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun
1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini,
mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian
dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang
diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan
lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat
Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi
tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan
benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang
pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak,
dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada
saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari
perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas
bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada
Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara
itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis
gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal
dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara
Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu
telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan
ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan
baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan
pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan
adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten.
Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan
datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis
dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke
Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua
pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak
lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana
telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang
merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten,
dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan
Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan
Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah
dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru
didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat
dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin
hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah
transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang di
pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang
Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama.
Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif
Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi
masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang
berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf
peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan
Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit
Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten
dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
(1).
Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah
bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di
Banten Girang (Kota Serang sekarang).
(2).
Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam
disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin
yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi
keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten
sebagai pelabuhan - alternatif setelah Malaka.
Pendirian
kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan
monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya
perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang
melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten
telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah
membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi
perkembangan perdagangan di Banten.
(3).
Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana
seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki
kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten,
Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya
bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu,
yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik
tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke
Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan
Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat
Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya
(tamaddun Islam).
(4). Fase
Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung atau
tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC,
masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5).
Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas
perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris
(1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan
dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah
Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu,
Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen),
pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
(6).
Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul
berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh
para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah
penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai
sekarang memasuki masa pembangunan.
Di
balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus
mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus
menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai
mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para
ulama/mubaligh/kiyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak
pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di
daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan
keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan
dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
awara dalam kehidupan masyarakat Banten
Di
sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya,
keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara
bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya
ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga
kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19
kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat
selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi
masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh
masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting.
Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai
sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan
jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi
kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi
golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi
mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara
dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah
sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para
ulama dan jawara”.
Seiring
dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki
pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke hal yang
negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas dari sepak
terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam tiga masa
perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa kerajaan
Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda. Belakangan,
kehidupan jawara dengan character building yang khas itu menciptakan sub
kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu
Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan ini muncul
ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga
sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme.
Sebagai
subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam
melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata
yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri
yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan
memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang
sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat
tradisional.
Penafsiran Sejarah Istilah Jawara
Belum
adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah
jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk
diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini
diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan
supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri.
Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah
sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau
“history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Dari
stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk
daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul,
karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat
terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang
melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles
(RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun
Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar
catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S
menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki
empat penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran
pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai
perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka
memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi
juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke
khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung
ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang
kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalamperkembangan
selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang
dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan
jawara.
Penafsiran kedua,
ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin.
Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk
sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh
Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan
batin, militan dan mampu mengahncurkan secara cepat menyusup ke pusat
pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu
diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan
kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini
menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina secara terus menerus.
Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran
ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara
dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan
pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi
yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk
untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan,
memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan termasuk
membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara kampung.
Lambat
laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini
sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila
tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan
mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya,
kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal
dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan
bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat
bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran
keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama.
Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik
berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan
kaum santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan
menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah
selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya . Sedangkan kelompok kedua
merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan di bidang bela
diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan
fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan
ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok
pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah
kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian
hari disebut dengan jawara.
Penafsiran
kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik
Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles
(1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat
merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar
persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa
pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada
mereka.
Pada awalnya
istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago
dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun
memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan.
Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan
menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu
mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di
tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten,
maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran
makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada
abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan
perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial
Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang
dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini
sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk
menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga
mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk
gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap
sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot
(komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak
saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan
perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma
wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani
menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus
berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat
yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring
dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam
konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha
mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan
berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki
perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal
kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi
kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk
menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku
negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara
umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian
bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda
dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu
menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat
menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada
ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama.
Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah
jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong
letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak
terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda
dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut
Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya
“champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain
menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi
golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada
lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah
sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di
kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki,
jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena
sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan
sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat
sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara
fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan
atau sesepuh.
Lalu
bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword
dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam
bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita
temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir,
non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka
memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah.
Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif
(kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada
kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari
pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari
tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna,
fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak
terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.
Sumber tulisan:
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten, STAIN Serang, 2002
Kota Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten
menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang
lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan
Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan
perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak
pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang
membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan
internasional. Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa
Eropa pada masa itu.
Cerita
ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak
dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang
tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi
diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati
Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang
lalu.
Buku dalam bahasa
Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu
dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para
peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan
merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini
berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian
tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa
indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah
dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau bangsa Eropa
lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan
besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia,
kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata
O’Cornesse.
Menurut
catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi
pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota Banten Lama
yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi
Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing dengan
negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.
Kota
Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai
kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari
sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang
menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal
Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan
yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang
diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada
abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap
bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang
ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten
terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa.
Pada
tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha
Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama
Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga
para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya
komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu
jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan
Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk
bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari
lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk
mengelilingi dunia.
Para
sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di
Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun
di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah
dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera
diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota
Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung
Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa
Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten
bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional
setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi
pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya
Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk
merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh
ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan
dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk
menguasai dan mempertahankan industri lada, sekaligus berdagang langsung
dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya. Akhirnya pada tahun 1660-an
Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan
model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk
membangun armada tersebut.
Kesultanan
Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional yang sangat
ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672 sampai VOC
(Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.
Dengan
armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan
Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang
paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina
adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus.
Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27
- 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini
digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui:
India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat
Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok
Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
sumber :
http://kerajaan-banten.blogspot.com/